4 Okt 2017

Poem & Wars, Terma Indie, dan Sebuah Harapan

“Ketika suara-suara itu melantun dan dapat saya nikmati, ya itulah musik!”, Tutur mahasiswa Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga yang berambut gondrong tersebut. Adryan Yoga (19), atau yang biasa dipanggil dengan nama Yoga adalah seorang musisi pendatang yang mencoba beberapa peruntungan di skena musik independen.
            Pria kelahiran 12 November 1997 tersebut merupakan salah seorang personil dari duo pop-folk bernama Poem & Wars. Duo Pop-Folk yang beranggotakan Annisa Savira di posisi vokal, dan Adryan Yoga di posisi gitar, yang baru lahir di tahun 2016 tersebut merupakan salah satu dari sekian banyak pendatang didalam skena musik independen Kota Surabaya. Poem & Wars sendiri, biasanya manggung di acara-acara kampus dan kafe-kafe sekitaran Kota Surabaya.
            Sebagai salah seorang personil dari band tersebut, Yoga memiliki sebuah pandangan tersendiri dalam menyikapi terma ‘indie’. Ia menganggap bahwa anak-anak muda jaman sekarang banyak yang salah kaprah memaknai terma tersebut. Menurut Yoga, indie bukanlah sebuah genre seperti yang biasa dielu-elukan muda-mudi jaman sekarang, apalagi lifestyle.
            Yoga memiliki pandangan yang cukup universal mengenai terma indie dalam dunia permusikan. Ia menganggap ‘indie’ adalah sebuah metode memasarkan karya dari seseorang atau kelompok musisi yang berasaskan berdikari (berdiri diatas kaki sendiri). Mulai dari proses perekaman hingga pendistribusian, dilakukan sendiri tanpa campur tangan dari major label.
            Sedangkan dalam artian yang lebih personal lagi, Yoga memiliki pemknaan sendiri yang cukup filosofis mengenai terma ‘indie’. Ia mengibaratkan indie sebagai sebuah metode pembentukan identitas diri yang mandiri dan mampu bertahan, diatas terpaan kewajiban dan hak berkehidupan dari seorang manusia.
            Pria yang lahir dan tumbuh besar di Yogyakarta tersebut menuturkan bahwa, terma indie telah melampaui batas pengembangan makna. Maka dari itu, harus ada proses rekonsiliasi atas terma tersebut. “Orang-orang perlu di edukasi perlahan-lahan mengenai makna dari kata indie, supaya kesalah kaprahan ini bisa berhenti di generasi kita saja, syukur-syukur kalau proses edukasinya berhasil, semua jadi paham apa sebenarnya indie itu” tuturnya.
            Yoga merasakan kemirisan ketika mendengar beberapa anak muda yang sangat sering melacurkan kata ‘indie’ di tiap-tiap perbincangan mereka. Ia seringkali nyeletuk dalam perbincangan-perbincangan macam itu dengan menceletukkan pertanyaan “Emang indie itu apa sih?”.
            Alhasil, mereka yang ditanyai malah memberikan penjelasan yang sanagt jauh dari esensi Indie itu sendiri. “Yang lucu adalah ketika jawabannya seperti ini : oh indie itu jenis musik yang biasa dimainkan band-band kayak Payung Teduh, Danilla, atau Fourtwenty gitu. Ya jelas saya miris mendengarnya, ini belum senior-senior loh yang denger, pasti bakal miris!”
            Menurut Yoga, musik itu perlu apresiasi, dan apresiasi terbesar menurutnya ternyata bukanlah membeli rilisan fisik. “Apresiasi terbesar bagi musisi selain membeli rilisan fisik adalah ketika semua orang bisa bernyanyi bersama, menyanyikan karya sang musisi secara serentak bersama penonton. Pasti merinding lah!” tuturnya tegas.
            Mahasiswa Ilmu Komunikasi semester 3 tersebut menuturkan bahwa ia sebenarnya memimpikan untuk menjadi seorang solois, namun apadaya, ia kurang merasa percaya diri dengan suara yang ia miliki. Yoga menganggap suaranya kurang menjual dan masih harus diasah lagi cengkok-cengkoknya.
            Poem & Wars sendiri sebenarnya sudah memiliki beberapa karya yang di upload di situs soundcloud.com, namun Yoga menuturkan bahwa karya-karya yang mereka unggah merupakan hasil gubahan dari karya musisi-musisi lain. “Selama ini masih sekedar mengaransemen lagu yang sudah ada, lalu direkam secara sederhana, minimalis, dan diunggah di situs-situs seperti soundcloud gitu.” Paparnya.
            “Sebenarnya susah untuk menjalani grup musik seperti ini, banyak sekali hal yang perlu disesuaikan, mulai dari latar belakang bermusik yang berbeda, hingga selera yang harus dicari titik temunya. Menyatukan visi dan misi dari dua kepala aja susahnya inta ampun, apalagi lebih dari dua kepala, tapi kalau dari latar belakang yang sama sih lebih bisa menyesuaikan.” Tegasnya.
            Pria yang menggemari genre musik Folk tersebut mengutarakan bahwa, sebenarnya di era komunikasi yang mana informasi berjalan begitu pesat seperti sekarang, semua orang bisa mendapuk dirinya sebagai seorang musisi. “Sekarang, karya lahir tidak melulu dari dapur rekaman, namun kamar tidur masing-masing sudah menjadi tempat yang mumpuni untuk sekedar merekam karya musik secara sederhana.”
            “Coba lihat Adhitia Sofyan, dia itu hebat, karya-karyanya yang awal-awal lahir dari kamarnya, ia rekam sendiri, ia mixing melalui komputernya, lalu ia distribusikan secara online, itu sangat hebat mengingat sekarang ia diakui sebagai musisi yang sudah mempunyai nama dijajaran musisi-musisi tanah air.”
            Pria berambut gondrong dan bermata sayu tersebut memiliki sebuah harapan yang sangat tinggi dalam dunia permusikan di Indonesia. Ia mengharapkan bahwa karya yang lahir haruslah diperjuangkan oleh si pembuat, karena dewasa ini, segala hal mengenai proses perekaman karya hingga pendistribusiannya sangat mudah dilakukan, bahkan tanpa label rekaman.
            “Kalau dulu kan musisi perlu gabung label rekaman dulu sebelum karyanya bisa dikenal, lha kalau sekarang nggak perlu begitu, punya laptop dan koneksi internet saja sudah cukup untuk melakukan hal-hal itu semua. Jadi ya, nggak ada alasan untuk tidak menerbitkan karya-karya.” Celotehnya singkat. (4/10/2017)

Oleh : Mohamad Ricky Sabastian (071511533087)
(Tema Bebas)

0 komentar:

Posting Komentar