“Ketika suara-suara itu melantun
dan dapat saya nikmati, ya itulah musik!”, Tutur mahasiswa Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga yang berambut
gondrong tersebut. Adryan Yoga (19), atau yang biasa dipanggil dengan nama Yoga
adalah seorang musisi pendatang yang mencoba beberapa peruntungan di skena
musik independen.
Pria
kelahiran 12 November 1997 tersebut merupakan salah seorang personil dari duo
pop-folk bernama Poem & Wars. Duo Pop-Folk yang beranggotakan Annisa Savira
di posisi vokal, dan Adryan Yoga di posisi gitar, yang baru lahir di tahun
2016 tersebut merupakan salah satu dari sekian banyak pendatang didalam skena
musik independen Kota Surabaya. Poem & Wars sendiri, biasanya manggung di
acara-acara kampus dan kafe-kafe sekitaran Kota Surabaya.
Sebagai
salah seorang personil dari band tersebut, Yoga memiliki sebuah pandangan
tersendiri dalam menyikapi terma ‘indie’. Ia menganggap bahwa anak-anak muda
jaman sekarang banyak yang salah kaprah memaknai terma tersebut. Menurut Yoga,
indie bukanlah sebuah genre seperti yang biasa dielu-elukan muda-mudi jaman
sekarang, apalagi lifestyle.
Yoga
memiliki pandangan yang cukup universal mengenai terma indie dalam dunia permusikan.
Ia menganggap ‘indie’ adalah sebuah metode memasarkan karya dari seseorang atau
kelompok musisi yang berasaskan berdikari (berdiri diatas kaki sendiri). Mulai
dari proses perekaman hingga pendistribusian, dilakukan sendiri tanpa campur
tangan dari major label.
Sedangkan
dalam artian yang lebih personal lagi, Yoga memiliki pemknaan sendiri yang
cukup filosofis mengenai terma ‘indie’. Ia mengibaratkan indie sebagai sebuah
metode pembentukan identitas diri yang mandiri dan mampu bertahan, diatas terpaan
kewajiban dan hak berkehidupan dari seorang manusia.
Pria
yang lahir dan tumbuh besar di Yogyakarta tersebut menuturkan bahwa, terma
indie telah melampaui batas pengembangan makna. Maka dari itu, harus ada proses
rekonsiliasi atas terma tersebut. “Orang-orang perlu di edukasi perlahan-lahan
mengenai makna dari kata indie, supaya kesalah kaprahan ini bisa berhenti di
generasi kita saja, syukur-syukur kalau proses edukasinya berhasil, semua jadi
paham apa sebenarnya indie itu” tuturnya.
Yoga
merasakan kemirisan ketika mendengar beberapa anak muda yang sangat sering
melacurkan kata ‘indie’ di tiap-tiap perbincangan mereka. Ia seringkali
nyeletuk dalam perbincangan-perbincangan macam itu dengan menceletukkan
pertanyaan “Emang indie itu apa sih?”.
Alhasil,
mereka yang ditanyai malah memberikan penjelasan yang sanagt jauh dari esensi
Indie itu sendiri. “Yang lucu adalah ketika jawabannya seperti ini : oh indie
itu jenis musik yang biasa dimainkan band-band kayak Payung Teduh, Danilla,
atau Fourtwenty gitu. Ya jelas saya miris mendengarnya, ini belum senior-senior
loh yang denger, pasti bakal miris!”
Menurut
Yoga, musik itu perlu apresiasi, dan apresiasi terbesar menurutnya ternyata
bukanlah membeli rilisan fisik. “Apresiasi terbesar bagi musisi selain membeli
rilisan fisik adalah ketika semua orang bisa bernyanyi bersama, menyanyikan
karya sang musisi secara serentak bersama penonton. Pasti merinding lah!”
tuturnya tegas.
Mahasiswa
Ilmu Komunikasi semester 3 tersebut menuturkan bahwa ia sebenarnya memimpikan untuk
menjadi seorang solois, namun apadaya, ia kurang merasa percaya diri dengan
suara yang ia miliki. Yoga menganggap suaranya kurang menjual dan masih harus
diasah lagi cengkok-cengkoknya.
Poem
& Wars sendiri sebenarnya sudah memiliki beberapa karya yang di upload di
situs soundcloud.com, namun Yoga menuturkan bahwa karya-karya yang mereka
unggah merupakan hasil gubahan dari karya musisi-musisi lain. “Selama ini masih
sekedar mengaransemen lagu yang sudah ada, lalu direkam secara sederhana,
minimalis, dan diunggah di situs-situs seperti soundcloud gitu.” Paparnya.
“Sebenarnya
susah untuk menjalani grup musik seperti ini, banyak sekali hal yang perlu
disesuaikan, mulai dari latar belakang bermusik yang berbeda, hingga selera
yang harus dicari titik temunya. Menyatukan visi dan misi dari dua kepala aja
susahnya inta ampun, apalagi lebih dari dua kepala, tapi kalau dari latar
belakang yang sama sih lebih bisa menyesuaikan.” Tegasnya.
Pria
yang menggemari genre musik Folk tersebut mengutarakan bahwa, sebenarnya di era
komunikasi yang mana informasi berjalan begitu pesat seperti sekarang, semua
orang bisa mendapuk dirinya sebagai seorang musisi. “Sekarang, karya lahir
tidak melulu dari dapur rekaman, namun kamar tidur masing-masing sudah menjadi
tempat yang mumpuni untuk sekedar merekam karya musik secara sederhana.”
“Coba
lihat Adhitia Sofyan, dia itu hebat, karya-karyanya yang awal-awal lahir dari
kamarnya, ia rekam sendiri, ia mixing melalui komputernya, lalu ia
distribusikan secara online, itu sangat hebat mengingat sekarang ia diakui
sebagai musisi yang sudah mempunyai nama dijajaran musisi-musisi tanah air.”
Pria
berambut gondrong dan bermata sayu tersebut memiliki sebuah harapan yang sangat
tinggi dalam dunia permusikan di Indonesia. Ia mengharapkan bahwa karya yang
lahir haruslah diperjuangkan oleh si pembuat, karena dewasa ini, segala hal
mengenai proses perekaman karya hingga pendistribusiannya sangat mudah
dilakukan, bahkan tanpa label rekaman.
“Kalau
dulu kan musisi perlu gabung label rekaman dulu sebelum karyanya bisa dikenal,
lha kalau sekarang nggak perlu begitu, punya laptop dan koneksi internet saja
sudah cukup untuk melakukan hal-hal itu semua. Jadi ya, nggak ada alasan untuk
tidak menerbitkan karya-karya.” Celotehnya singkat. (4/10/2017)
Oleh : Mohamad Ricky Sabastian (071511533087)
(Tema Bebas)
(Tema Bebas)
0 komentar:
Posting Komentar