5 Apr 2020

Only Yesterday: Quarter Life Crisis dan Keputusan Besar Dalam Kehidupan (spoiler alert!)


          

“Kehidupan seringkali tidak berjalan mulus seperti aspal jalan protokol yang baru saja direvitalisasi oleh Pemerintah Provinsi”. Mungkin begitulah kalimat yang cukup tepat untuk menggambarkan keseharian seseorang yang sedang mengalami quarter life crisis, dimana dalam fase-fase tersebut, terdapat banyak sekali angan yang terlintas dalam benak. Mulai dari urusan pekerjaan yang stagnan, kehidupan asmara yang begitu-begitu saja tanpa rencana yang jelas kedepannya, atau mungkin perasaan mengganggu yang muncul semacam; “apa sih yang sudah kulakukan 20 tahun terakhir ini? Kok gini amat hidup!”. Perasaan-perasaan resah tersebut makin menjadi-jadi seringkali pada insan-insan yang terpapar media sosial, mereka seringkali mengeluh karena melihat postingan maupun InstaStory rekan-rekan mereka yang sudah memiliki pekerjaan impian, kehidupan pernikahan yang mulus (seperti jalan protokol), maupun pencapaian-pencapaian lainnya. Setidaknya begitulah keresahan-keresahan yang muncul disamping pertanyaan pamungkas bin nggatheli, yaitu; “kapan menikah?”

            Keresahan-keresahan kehidupan ‘20 tahun’ tersebut nampaknya terangkum dengan cukup gamblang dan sederhana melalui karya seorang masterpiece film animasi Jepang bernama Isao Takahata (Almarhum). Bersama Studio Ghibli, ia membuat film dengan tajuk ‘Only Yesterday’ atau dalam bahasa Jepang-nya disebut ‘Omoide Poroporo’ (dirilis pada tahun 1991), sebuah adaptasi dari manga berjudul sama yang digarap Hotaru Okamoto dan Yuko Tone. Terpaut jauh memang dengan saat ini (2020), yaitu 29 tahun. Namun setiap lembar frame dari film tersebut juga terasa sangat relate dengan kehidupan siapapun yang sedang diterpa quarter life crisis. Cerita dimulai ketika karakter utama, yaitu Okajima Taeko yang mendambakan kehidupan di desa. Keluarganya telah turun-temurun tinggal di Tokyo, Ibukota Jepang sebagai pusat perekonomian. Saat masa kanak-kanak tahun 1966, Taeko yang masih kelas 5 SD seringkali merasa iri terhadap kawan-kawannya yang pergi liburan ke rumah nenek mereka di desa. Ia pun merengek pada ibunya agar bisa liburan di desa. Rengekannya tak digubris, sebab ibunya berujar: ‘nenek tinggal bersama kita’ dan ‘kakek sudah meninggal dunia’. Tujuh belas tahun berlalu, setting berpindah pada tahun 1983 dimana Taeko sudah berusia 27 tahun serta bekerja sebagai karyawan perusahaan di Tokyo. Untuk memenuhi obsesinya terhadap kehidupan di desa yang asri, ia memutuskan untuk mengambil cuti dari kantornya selama 10 hari lalu berangkat ke Yamagata, sebuah kota kecil dengan pemandangan sawah dan ladang dimana disana juga terdapat keluarga dari kakak-ipar Taeko berada. Ini merupakan perjalanan kedua Taeko untuk mengunjungi Yamagata dengan menggunakan sleeper train di malam hari.

            Perjalanan tersebut rupanya tak hanya dilaksanakan oleh Taeko, namun tiba-tiba ia ‘terbayang’ akan potongan-potongan kecil kenangan diri-nya ketika saat masih berusia 11 tahun, tepat pada saat ia masih kelas 5 SD, dimana bukan hanya soal rengekan ingin berlibur di suasana pedesaan, tapi juga lika-liku hidup keseharian Taeko kecil dengan keluarga serta teman-teman sekolahnya yang meliputi: cinta monyetnya dengan Hirota, anak kelas sebelah yang jago main baseball (disini digambarkan Taeko yang perasaannya berbunga-bunga setelah berpapasan dijalan dengan Hirota); ketidakbecusannya menggarap soal-soal matematika sampai dicurigai ‘tidak normal’ oleh kakak kedua dan ibunya; improvisasinya saat mementaskan drama di kelas yang dianggap berlebihan sampai harus ‘dibatasi’ oleh gurunya; rasa takutnya terhadap haid pertama setelah mendapat pendidikan reproduksi; tamparan pertama (dan terakhir) dari ayahnya sebagai hukuman karena ia tidak bisa menepati kata-katanya sendiri; pertengkaran wajar antar saudara dengan Yaeko, kakak keduanya; kebingungan keluarga Taeko saat harus makan nanas, buah tropis yang dianggap aneh; dan serba-serbi kehidupan sehari-hari lainnya. Seperti layaknya bagaimana film animasi dengan genre slice of life pada umumnya.

            Cerita dilanjutkan kepada pertemuannya dengan Toshio, sepupu dari suami kakaknya yang menjemputnya di stasiun kala subuh. Mereka berdua saling berbagi cerita didalam mobil sedan kecil yang membawa mereka menyusuri jalanan pedesaan, sawah, hingga ladang. Toshio memutar lagu petani Hungaria yang mewarnai perjalanan mereka berdua untuk tiba di tujuan. Perbincangan dihiasi berbagi pengalaman soal pekerjaan mereka berdua, dimana Toshio berujar bahwa sebelum menjadi petani organik bersama temannya, sebelumnya ia juga pernah menjadi pekerja kantoran seperti Taeko, namun memutuskan berhenti dan melanjutkan mimpi sebagai perani organik yang sangat idealis soal penggarapan sawah dan berladang. Mereka berdua juga membincangkan persoalan kebijakan pasar di Jepang pada tahun 80’an yang menjadi momok bagi beberapa pekerjaan seperti bertani. Matahari masih berada di balik gunung saat Taeko dan Toshio sampai di ladang bunga safflower milik keluarga Kazuo, kakak ipar Taeko. Taeko sengaja mengambil kereta malam supaya langsung bisa ikut memetik bunga safflower, dimana bunga safflower merupakan bahan dasar pewarna lipstik. Bersepatu bot, topi lebar, serta celana kerja petani, Taeko bergabung dengan anggota keluarga Kazuo yang sebelumnya telah menyapanya. Sang surya perlahan memunculkan sinarnya. Ditengah pemandangan memanjakan mata-khas Studio Ghibli-tersebut, beberapa anggota keluarga menghadapkan badan mereka ke arah matahari, menangkupkan tangan di dada, serta menundukkan kepala. Taeko dan Toshio melakukan hal serupa, sebagai tanda penghormatan atas apa yang telah alam berikan untuk kehidupan (ini adalah scene super keren!).

            Taeko-pun menjalani sepuluh hari cutinya dengan bekerja sebagai seorang petani bunga safflower, dimana diantara realita tersebut, potong demi potong kenangan masa kecilnya juga turut muncul, dimana ia masih berusia 11 tahun. Dalam berbagai kesempatan, baik saat memetik bunga, maupun berbincang-bincang dengan Toshio ataupun saat bercengkerama dengan Naoko (putri dari keluarga Kazuo yang masih kecil). Kenangannya silih berganti bermunculan, mulai dari bagaimana Taeko merasa takut ketika harus berhadapan dengan haid pertama nantinya selepas kelas reproduksi (yang berimbas pada kawan-kawan lelakinya yang diam-diam mulai menyingkap rok para siswi perempuan dengan tidak sopan untuk mengetahui apakah mereka sedang haid atau tidak), bagaimana soal matematika sangat menyulitkannya (dimana disaat bersamaan ia sedang bercengkerama dengan Toshio mengenai bagaimana kawan-kawan Taeko yang menguasai hal tersebut, kehidupannya sekarang sudah mapan), serta suatu hari dimana ia hampir menjadi bintang karena ditawari untuk bermain peran teater di sebuah universitas dengan audiens besar pada masa kanak-kanak. Cerita terus berlanjut hingga pada malam terakhir sebelum kembalinya Taeko pada kehidupan di Tokyo, nenek tua dari keluarga Kazuo (keluarga yang menampung Taeko selama di Yamagata) dengan iseng menawari Taeko untuk menikah dengan Toshio serta menjalani kehidupan di desa sebagai seorang petani. Hal tersebut ditanggapi beragam oleh beberapa anggota keluarga Kazuo (ada yang berujar bahwasanya itu tidak mungkin dilakukan karena Taeko adalah orang Tokyo), yang mana berimbas pada kondisi tertekan dalam diri Taeko, sehingga ia memutuskan untuk berlari ke jalanan dalam kondisi hujan (scene klise yang sering kita jumpai didalam FTV ala Indonesia). Taeko merenungi kehidupannya, serta merasa bahwasanya apa yang ia lakukan selama di Yamagata adalah sebuah ketidakjujuran dalam dirinya yang perlu ia atur dikemudian hari. Disaat yang bersamaan, kenangannya saat masa kelas 5 SD kembali muncul,

            Dalam waktu yang bersamaan, ia teringat akan teman lelakinya yang super dekil sehingga menjadi bahan perbincangan kawan-kawan sekelas. Taeko merasa bersalah karena pernah memeragakan lagak temannya tersebut ketika berjalan dihadapan Taeko dengan aksen sok seram. Tak lama berselang, Toshio muncul dengan mengendarai mobilnya dari jalan raya. Toshio yang melihat hal tersebut dengan sigap menyuruh Taeko masuk serta menawarkan untuk segera pulang, namun Taeko meminta untuk berjalan-jalan sejenak diselingi obrolan-obrolan ringan. Taeko menceritakan bagaimana ia yang susah payah berdamai dengan ingatan-ingatan masa kecilnya. Toshio menjadi pendengar yang baik, dimana Taeko berpikir bahwa Toshio adalah orang yang mengagumkan (disini Taeko membayangkan kehidupan berdua sebagai petani dengan Toshio), selain idealisme-nya menjadi seorang petani organik di era Jepang modern. Scene dilanjutkan pada keesokan hari dimana Taeko harus kembali ke Tokyo, dimana ini adalah scene yang sangat mengagumkan sehingga membuat saya menangis!

            Selepas perpisahannya dengan keluarga Kazuo di stasiun, scene antara kenangan-kenangan masa kecil dan realita bertemu didalam gerbong kereta. Taeko kecil dan kawan-kawannya muncul bersamaan disaat Taeko melamun. Disaat itu pula, Taeko beranjak untuk turun di stasiun terdekat demi kembali ke Yamagata, ia menyusuri perjalanan dengan menggunakan kereta lagi serta bus tanggung, dimana sebelumnya Taeko telah menelepon keluarga Kazuo tentang keputusannya untuk kembali ke Yamagata. Scene diakhiri dengan dijemputnya Taeko oleh Toshio di stasiun Yamagata, dimana disaat itu pula-lah scene ‘perpisahan’ Taeko dewasa dengan Taeko kecil divisualisasikan. Adegan menyentuh tersebut diakhiri dengan raut muka Taeko kecil yang kebingungan dengan apa yang sedang dilihat oleh kedua matanya, selayaknya seorang anak kecil, kebingungan tersebut menjadi sangat lumrah untuk dimaklumi.

Alur yang ringan, penyutradaraan mengedepankan sisi humanis.

            Seperti layaknya manga eiga (Studio Ghibli-terutama Hayao Miyazaki-enggan menyebut karya animasi mereka sebagai anime) dengan genre slice of life, alur penceritaan dibuat sangat ringan serta menitiberatkan pada kehidupan sehari-hari sebagai tema utama (dalam hal ini quarter life crisis). Jika kalian menyukai film-film dengan garapan alur ala Yasujiro Ozu (Tokyo Story misalnya), kalian akan sangat menyukai gaya penyutradaraan Isao Takahata (rest easy Paku-San!) ini. Adegan demi adegan digarap dengan sangat realistis dan mengedepankan sisi humanis, terutama perasaan seseorang sebagai individu yang ingin merdeka dari kehidupannya sendiri. Problem kehidupan usia 27 tahun disampaikan dengan lugas dan tanpa banyak ‘menye-menye’. Pekerjaan menyita harapan (Silampukau apa kabar? Kapan rilis album baru?), pertanyaan menjemukan dari sanak famili soal pernikahan, serta keikhlasan insan untuk melepas kenangan masa lalu. Selain itu, penggambaran sifat dari tiap-tiap tokoh juga tidak berlebihan, seperti halnya ayah dari Taeko yang tegas, dingin, serta berorientasi pada ‘kesuksesan konvensinal’ ala ‘Asian father’ kebanyakan, serta Ibu dari Taeko yang tidak terlalu banyak bicara serta berorientasi pada prestasi akademis terhadap Taeko di sekolah.

Visualisasi yang mengagumkan.

            Sudah tidak dapat dipungkiri lagi bahwasanya Studio Ghibli merupakan studio animasi Jepang yang visualisasinya sangat tokcer, begitu pula dengan ‘Only Yesterday’. Penonton dimanjakan dengan ademnya suasana pedesaan yang dominan hijau, serta gaya penggambaran pemandangan dengan teknik water colour yang perlu diapresiasi dengan tinggi. Selain itu, yang lebih mengagumkan adalah bagaimana Isao Takahata (dan tim) menampilkan kenangan-kenangan masa kecil Taeko dengan gaya visualisasi yang berbeda. Seperti layaknya memori yang kita coba ingat dalam-dalam, pastinya otak kita memvisualisasikan dengan tidak sempurna, yang teringat hanyalah kejadian penting-penting saja, hal-hal disekitarnya menjadi buram. Hal itulah yang menjadi penanda bahwasanya terdapat dua alur dalam film ini, yaitu dunia realitas dan dunia dalam memori Taeko. Tidak dapat dipungkiri, ini adalah masterpiece dalam hal visualisasi film animasi.

Scoring dan soundtrack yang memanjakan telinga.

            Pembawaan scoring sangatlah penting dalam sebuah karya audio-visual, dimana disini Studio Ghibli (lagi-lagi) tidak mengecewakan penggemarnya. Katz Hoshi-lah yang mengambil peran dalam tata suara, dimana banyak diantara adegan-adegan seperti halnya saat matahari terbit di ladang bunga safflower, diiringi dengan scoring yang ciamik soroh. Selain itu, soundtrack pada adegan terakhir juga tak bisa dilewatkan begitu saja, ‘Ai wa Hana, Kimi wa sono Tane’ merupakan lagu yang digubah dari versi aslinya yang berbahasa Inggris dengan judul ‘The Rose’ karya Amanda McBroom, dan yang berperan mengisi vokal atas gubahan tersebut adalah suara merdu Harumi Miyako.

Mengapa film ini penting ditonton?


            Film ini menjadi penting dan worth to watch dikarenakan isu yang dibawa sangat relevan bahkan hingga hari ini sekalipun. Pada tahun rilisnya, ‘Only Yesterday’ menjadi film dengan pendapatan tertinggi di Jepang, selain itu, website kritik film semacam Rotten Tomatoes memberikannya skor sebesar 100%! Tema kehidupan sehari-hari sepertinya merupakan salah satu tema yang mengakar kuat dalam film maupun karya-karya dengan medium lain di Jepang, sama halnya dengan Only Yesterday, dimana disini penonton dihadapkan pada keputusan peran utama untuk ‘bunuh diri kelas’, dari kehidupan kantoran ala penduduk Tokyo, demi menjalani kehidupan pedesaan yang tenang seperti dambaan banyak orang kota, namun kebanyakan dari mereka terlampau takut untuk mengambil keputusan tersebut. Selain itu, menonton film ini bisa menjadi sarana untuk refleksi diri dari pengambilan-pengambilan keputusan dalam menjalani kehidupan, serta bagaimana kenangan-kenangan menjadi pengingat akan harapan-harapan yang akan terus tumbuh di keesokan hari (hal ini terpapar dalam dialog antara Taeko dan Toshio dalam film). Film ini baru dirilis di US pada tahun 2016. Hal ini dikarenakan kekhawatiran distributor film-film Studio Ghibli di US, yaitu Disney karena ‘Only Yesterday’ menampilkan dilema gadis yang hendak menjalani haid pertamanya (shame on you Disney!). Bagi penulis, selain alasan-alasan diatas, terdapat satu alasan utama mengapa film ini wajib ditonton, yaitu karena penulis ingin menjalani kehidupan pedesaan, namun terlampau takut untuk meninggalkan kehidupan di kota, serta sebagai sebuah bentuk penghormatan tertinggi untuk mendiang Isao Takahata, master film animasi yang karya-karyanya erat dengan nilai-nilai kemanusiaan.
continue reading Only Yesterday: Quarter Life Crisis dan Keputusan Besar Dalam Kehidupan (spoiler alert!)

18 Feb 2019

Pop Art Dan Semangat Perlawanannya Terhadap Dominasi Seni Abstrak-Ekspresionisme


Pop Art merupakan sebuah aliran seni yang tumbuh dan berkembang pada tahun 1950-an, dimana gerakan seni tersebut lahir atas sebuah kejengahan terhadap dominasi seni abstrak-impresionisme yang berkembang pesat di penjuru Eropa. Pop Art atau yang biasa disebut sebagai Seni Pop, memiliki perbedaan jauh dengan Seni Populer. Walaupun, Seni Pop juga merupakan seni yang populer pada masanya. Kita bisa menyebutkan bahwasanya realisme tersebut merupakan Seni Pop pada masanya, namun realisme bukanlah Seni Pop yang diangkat oleh Andy Warhol, dimana disini Andy Warhol adalah tokoh sentral dimulainya Pop Art.
            Antara Seni Pop dengan Seni Populer, keduanya memiliki perbedaan yang signifikan. Pada dasarnya, Pop Art merupakan seni yang tumbuh dan berkembang dari cabang seni rupa aliran Dadaisme. Ada yang menyebutkan bahwa Pop Art merupakan mass-culture art atau seni budaya massa. Jamie (1996), menjelaskan bahwa Pop Art merupakan perlawanan dari seni-seni yang sudah mapan, yang pada ketika itu pusatnya ada di Britania Raya (kini Inggris) serta United Stated (Amerika Serikat).
Lanjutkan membaca di : Download Jurnal

continue reading Pop Art Dan Semangat Perlawanannya Terhadap Dominasi Seni Abstrak-Ekspresionisme