“Kehidupan seringkali tidak berjalan
mulus seperti aspal jalan protokol yang baru saja direvitalisasi oleh Pemerintah
Provinsi”. Mungkin begitulah kalimat yang cukup tepat untuk menggambarkan
keseharian seseorang yang sedang mengalami quarter
life crisis, dimana dalam fase-fase tersebut, terdapat banyak sekali angan
yang terlintas dalam benak. Mulai dari urusan pekerjaan yang stagnan, kehidupan
asmara yang begitu-begitu saja tanpa rencana yang jelas kedepannya, atau
mungkin perasaan mengganggu yang muncul semacam; “apa sih yang sudah kulakukan
20 tahun terakhir ini? Kok gini amat hidup!”. Perasaan-perasaan resah tersebut
makin menjadi-jadi seringkali pada insan-insan yang terpapar media sosial,
mereka seringkali mengeluh karena melihat postingan maupun InstaStory rekan-rekan mereka yang sudah memiliki pekerjaan impian,
kehidupan pernikahan yang mulus (seperti jalan protokol), maupun
pencapaian-pencapaian lainnya. Setidaknya begitulah keresahan-keresahan yang
muncul disamping pertanyaan pamungkas bin nggatheli,
yaitu; “kapan menikah?”
Keresahan-keresahan kehidupan ‘20
tahun’ tersebut nampaknya terangkum dengan cukup gamblang dan sederhana melalui
karya seorang masterpiece film animasi Jepang bernama Isao Takahata (Almarhum).
Bersama Studio Ghibli, ia membuat film dengan tajuk ‘Only Yesterday’ atau dalam
bahasa Jepang-nya disebut ‘Omoide Poroporo’ (dirilis pada tahun 1991), sebuah
adaptasi dari manga berjudul sama yang digarap Hotaru Okamoto dan Yuko Tone.
Terpaut jauh memang dengan saat ini (2020), yaitu 29 tahun. Namun setiap lembar
frame dari film tersebut juga terasa sangat relate
dengan kehidupan siapapun yang sedang diterpa quarter life crisis. Cerita dimulai ketika karakter utama, yaitu Okajima
Taeko yang mendambakan kehidupan di desa. Keluarganya telah turun-temurun
tinggal di Tokyo, Ibukota Jepang sebagai pusat perekonomian. Saat masa
kanak-kanak tahun 1966, Taeko yang masih kelas 5 SD seringkali merasa iri terhadap
kawan-kawannya yang pergi liburan ke rumah nenek mereka di desa. Ia pun
merengek pada ibunya agar bisa liburan di desa. Rengekannya tak digubris, sebab
ibunya berujar: ‘nenek tinggal bersama kita’ dan ‘kakek sudah meninggal dunia’.
Tujuh belas tahun berlalu, setting
berpindah pada tahun 1983 dimana Taeko sudah berusia 27 tahun serta bekerja
sebagai karyawan perusahaan di Tokyo. Untuk memenuhi obsesinya terhadap
kehidupan di desa yang asri, ia memutuskan untuk mengambil cuti dari kantornya
selama 10 hari lalu berangkat ke Yamagata, sebuah kota kecil dengan pemandangan
sawah dan ladang dimana disana juga terdapat keluarga dari kakak-ipar Taeko
berada. Ini merupakan perjalanan kedua Taeko untuk mengunjungi Yamagata dengan
menggunakan sleeper train di malam
hari.
Perjalanan tersebut rupanya tak
hanya dilaksanakan oleh Taeko, namun tiba-tiba ia ‘terbayang’ akan
potongan-potongan kecil kenangan diri-nya ketika saat masih berusia 11 tahun,
tepat pada saat ia masih kelas 5 SD, dimana bukan hanya soal rengekan ingin
berlibur di suasana pedesaan, tapi juga lika-liku hidup keseharian Taeko kecil dengan
keluarga serta teman-teman sekolahnya yang meliputi: cinta monyetnya dengan
Hirota, anak kelas sebelah yang jago main baseball (disini digambarkan Taeko
yang perasaannya berbunga-bunga setelah berpapasan dijalan dengan Hirota);
ketidakbecusannya menggarap soal-soal matematika sampai dicurigai ‘tidak
normal’ oleh kakak kedua dan ibunya; improvisasinya saat mementaskan drama di
kelas yang dianggap berlebihan sampai harus ‘dibatasi’ oleh gurunya; rasa
takutnya terhadap haid pertama setelah mendapat pendidikan reproduksi; tamparan
pertama (dan terakhir) dari ayahnya sebagai hukuman karena ia tidak bisa
menepati kata-katanya sendiri; pertengkaran wajar antar saudara dengan Yaeko,
kakak keduanya; kebingungan keluarga Taeko saat harus makan nanas, buah tropis
yang dianggap aneh; dan serba-serbi kehidupan sehari-hari lainnya. Seperti
layaknya bagaimana film animasi dengan genre
slice of life pada umumnya.
Cerita dilanjutkan kepada
pertemuannya dengan Toshio, sepupu dari suami kakaknya yang menjemputnya di
stasiun kala subuh. Mereka berdua saling berbagi cerita didalam mobil sedan
kecil yang membawa mereka menyusuri jalanan pedesaan, sawah, hingga ladang.
Toshio memutar lagu petani Hungaria yang mewarnai perjalanan mereka berdua
untuk tiba di tujuan. Perbincangan dihiasi berbagi pengalaman soal pekerjaan
mereka berdua, dimana Toshio berujar bahwa sebelum menjadi petani organik
bersama temannya, sebelumnya ia juga pernah menjadi pekerja kantoran seperti
Taeko, namun memutuskan berhenti dan melanjutkan mimpi sebagai perani organik
yang sangat idealis soal penggarapan sawah dan berladang. Mereka berdua juga
membincangkan persoalan kebijakan pasar di Jepang pada tahun 80’an yang menjadi
momok bagi beberapa pekerjaan seperti bertani. Matahari masih berada di balik
gunung saat Taeko dan Toshio sampai di ladang bunga safflower milik keluarga
Kazuo, kakak ipar Taeko. Taeko sengaja mengambil kereta malam supaya langsung
bisa ikut memetik bunga safflower, dimana bunga safflower merupakan bahan dasar
pewarna lipstik. Bersepatu bot, topi lebar, serta celana kerja petani, Taeko
bergabung dengan anggota keluarga Kazuo yang sebelumnya telah menyapanya. Sang
surya perlahan memunculkan sinarnya. Ditengah pemandangan memanjakan mata-khas
Studio Ghibli-tersebut, beberapa anggota keluarga menghadapkan badan mereka ke
arah matahari, menangkupkan tangan di dada, serta menundukkan kepala. Taeko dan
Toshio melakukan hal serupa, sebagai tanda penghormatan atas apa yang telah
alam berikan untuk kehidupan (ini adalah scene
super keren!).
Taeko-pun menjalani sepuluh hari
cutinya dengan bekerja sebagai seorang petani bunga safflower, dimana diantara
realita tersebut, potong demi potong kenangan masa kecilnya juga turut muncul,
dimana ia masih berusia 11 tahun. Dalam berbagai kesempatan, baik saat memetik
bunga, maupun berbincang-bincang dengan Toshio ataupun saat bercengkerama
dengan Naoko (putri dari keluarga Kazuo yang masih kecil). Kenangannya silih
berganti bermunculan, mulai dari bagaimana Taeko merasa takut ketika harus
berhadapan dengan haid pertama nantinya selepas kelas reproduksi (yang berimbas
pada kawan-kawan lelakinya yang diam-diam mulai menyingkap rok para siswi
perempuan dengan tidak sopan untuk mengetahui apakah mereka sedang haid atau
tidak), bagaimana soal matematika sangat menyulitkannya (dimana disaat
bersamaan ia sedang bercengkerama dengan Toshio mengenai bagaimana kawan-kawan
Taeko yang menguasai hal tersebut, kehidupannya sekarang sudah mapan), serta
suatu hari dimana ia hampir menjadi bintang karena ditawari untuk bermain peran
teater di sebuah universitas dengan audiens besar pada masa kanak-kanak. Cerita
terus berlanjut hingga pada malam terakhir sebelum kembalinya Taeko pada
kehidupan di Tokyo, nenek tua dari keluarga Kazuo (keluarga yang menampung
Taeko selama di Yamagata) dengan iseng menawari Taeko untuk menikah dengan
Toshio serta menjalani kehidupan di desa sebagai seorang petani. Hal tersebut
ditanggapi beragam oleh beberapa anggota keluarga Kazuo (ada yang berujar
bahwasanya itu tidak mungkin dilakukan karena Taeko adalah orang Tokyo), yang
mana berimbas pada kondisi tertekan dalam diri Taeko, sehingga ia memutuskan
untuk berlari ke jalanan dalam kondisi hujan (scene klise yang sering kita jumpai didalam FTV ala Indonesia).
Taeko merenungi kehidupannya, serta merasa bahwasanya apa yang ia lakukan
selama di Yamagata adalah sebuah ketidakjujuran dalam dirinya yang perlu ia
atur dikemudian hari. Disaat yang bersamaan, kenangannya saat masa kelas 5 SD
kembali muncul,
Dalam waktu yang bersamaan, ia
teringat akan teman lelakinya yang super dekil sehingga menjadi bahan
perbincangan kawan-kawan sekelas. Taeko merasa bersalah karena pernah
memeragakan lagak temannya tersebut ketika berjalan dihadapan Taeko dengan
aksen sok seram. Tak lama berselang, Toshio muncul dengan mengendarai mobilnya
dari jalan raya. Toshio yang melihat hal tersebut dengan sigap menyuruh Taeko
masuk serta menawarkan untuk segera pulang, namun Taeko meminta untuk
berjalan-jalan sejenak diselingi obrolan-obrolan ringan. Taeko menceritakan
bagaimana ia yang susah payah berdamai dengan ingatan-ingatan masa kecilnya.
Toshio menjadi pendengar yang baik, dimana Taeko berpikir bahwa Toshio adalah
orang yang mengagumkan (disini Taeko membayangkan kehidupan berdua sebagai
petani dengan Toshio), selain idealisme-nya menjadi seorang petani organik di
era Jepang modern. Scene dilanjutkan
pada keesokan hari dimana Taeko harus kembali ke Tokyo, dimana ini adalah scene yang sangat mengagumkan sehingga
membuat saya menangis!
Selepas perpisahannya dengan
keluarga Kazuo di stasiun, scene
antara kenangan-kenangan masa kecil dan realita bertemu didalam gerbong kereta.
Taeko kecil dan kawan-kawannya muncul bersamaan disaat Taeko melamun. Disaat
itu pula, Taeko beranjak untuk turun di stasiun terdekat demi kembali ke
Yamagata, ia menyusuri perjalanan dengan menggunakan kereta lagi serta bus
tanggung, dimana sebelumnya Taeko telah menelepon keluarga Kazuo tentang
keputusannya untuk kembali ke Yamagata. Scene
diakhiri dengan dijemputnya Taeko oleh Toshio di stasiun Yamagata, dimana
disaat itu pula-lah scene ‘perpisahan’
Taeko dewasa dengan Taeko kecil divisualisasikan. Adegan menyentuh tersebut
diakhiri dengan raut muka Taeko kecil yang kebingungan dengan apa yang sedang
dilihat oleh kedua matanya, selayaknya seorang anak kecil, kebingungan tersebut
menjadi sangat lumrah untuk dimaklumi.
Alur yang ringan, penyutradaraan mengedepankan
sisi humanis.
Seperti layaknya manga eiga (Studio Ghibli-terutama Hayao
Miyazaki-enggan menyebut karya animasi mereka sebagai anime) dengan genre slice of life, alur penceritaan dibuat
sangat ringan serta menitiberatkan pada kehidupan sehari-hari sebagai tema
utama (dalam hal ini quarter life crisis).
Jika kalian menyukai film-film dengan garapan alur ala Yasujiro Ozu (Tokyo Story
misalnya), kalian akan sangat menyukai gaya penyutradaraan Isao Takahata (rest easy Paku-San!) ini. Adegan demi
adegan digarap dengan sangat realistis dan mengedepankan sisi humanis, terutama
perasaan seseorang sebagai individu yang ingin merdeka dari kehidupannya
sendiri. Problem kehidupan usia 27 tahun disampaikan dengan lugas dan tanpa
banyak ‘menye-menye’. Pekerjaan menyita harapan (Silampukau apa kabar? Kapan rilis
album baru?), pertanyaan menjemukan dari sanak famili soal pernikahan, serta
keikhlasan insan untuk melepas kenangan masa lalu. Selain itu, penggambaran
sifat dari tiap-tiap tokoh juga tidak berlebihan, seperti halnya ayah dari
Taeko yang tegas, dingin, serta berorientasi pada ‘kesuksesan konvensinal’ ala ‘Asian father’ kebanyakan, serta Ibu dari
Taeko yang tidak terlalu banyak bicara serta berorientasi pada prestasi
akademis terhadap Taeko di sekolah.
Visualisasi yang mengagumkan.
Sudah tidak dapat dipungkiri lagi
bahwasanya Studio Ghibli merupakan studio animasi Jepang yang visualisasinya
sangat tokcer, begitu pula dengan ‘Only Yesterday’. Penonton dimanjakan dengan
ademnya suasana pedesaan yang dominan hijau, serta gaya penggambaran
pemandangan dengan teknik water colour
yang perlu diapresiasi dengan tinggi. Selain itu, yang lebih mengagumkan adalah
bagaimana Isao Takahata (dan tim) menampilkan kenangan-kenangan masa kecil
Taeko dengan gaya visualisasi yang berbeda. Seperti layaknya memori yang kita
coba ingat dalam-dalam, pastinya otak kita memvisualisasikan dengan tidak
sempurna, yang teringat hanyalah kejadian penting-penting saja, hal-hal
disekitarnya menjadi buram. Hal itulah yang menjadi penanda bahwasanya terdapat
dua alur dalam film ini, yaitu dunia realitas dan dunia dalam memori Taeko.
Tidak dapat dipungkiri, ini adalah masterpiece
dalam hal visualisasi film animasi.
Scoring dan soundtrack yang
memanjakan telinga.
Pembawaan scoring sangatlah penting
dalam sebuah karya audio-visual, dimana disini Studio Ghibli (lagi-lagi) tidak
mengecewakan penggemarnya. Katz Hoshi-lah yang mengambil peran dalam tata suara,
dimana banyak diantara adegan-adegan seperti halnya saat matahari terbit di
ladang bunga safflower, diiringi dengan scoring yang ciamik soroh. Selain itu, soundtrack
pada adegan terakhir juga tak bisa dilewatkan begitu saja, ‘Ai wa Hana, Kimi wa
sono Tane’ merupakan lagu yang digubah dari versi aslinya yang berbahasa
Inggris dengan judul ‘The Rose’ karya Amanda McBroom, dan yang berperan mengisi
vokal atas gubahan tersebut adalah suara merdu Harumi Miyako.
Mengapa film ini penting ditonton?
Film ini menjadi penting dan worth to watch dikarenakan isu yang dibawa
sangat relevan bahkan hingga hari ini sekalipun. Pada tahun rilisnya, ‘Only
Yesterday’ menjadi film dengan pendapatan tertinggi di Jepang, selain itu,
website kritik film semacam Rotten Tomatoes memberikannya skor sebesar 100%!
Tema kehidupan sehari-hari sepertinya merupakan salah satu tema yang mengakar
kuat dalam film maupun karya-karya dengan medium lain di Jepang, sama halnya
dengan Only Yesterday, dimana disini penonton dihadapkan pada keputusan peran
utama untuk ‘bunuh diri kelas’, dari kehidupan kantoran ala penduduk Tokyo,
demi menjalani kehidupan pedesaan yang tenang seperti dambaan banyak orang kota,
namun kebanyakan dari mereka terlampau takut untuk mengambil keputusan tersebut.
Selain itu, menonton film ini bisa menjadi sarana untuk refleksi diri dari
pengambilan-pengambilan keputusan dalam menjalani kehidupan, serta bagaimana
kenangan-kenangan menjadi pengingat akan harapan-harapan yang akan terus tumbuh
di keesokan hari (hal ini terpapar dalam dialog antara Taeko dan Toshio dalam
film). Film ini baru dirilis di US pada tahun 2016. Hal ini dikarenakan
kekhawatiran distributor film-film Studio Ghibli di US, yaitu Disney karena ‘Only
Yesterday’ menampilkan dilema gadis yang hendak menjalani haid pertamanya (shame on you Disney!). Bagi penulis,
selain alasan-alasan diatas, terdapat satu alasan utama mengapa film ini wajib
ditonton, yaitu karena penulis ingin menjalani kehidupan pedesaan, namun
terlampau takut untuk meninggalkan kehidupan di kota, serta sebagai sebuah
bentuk penghormatan tertinggi untuk mendiang Isao Takahata, master film animasi
yang karya-karyanya erat dengan nilai-nilai kemanusiaan.