29 Apr 2017

Pelukis Masa

Pelukis Masa
Chapter 1 :      Gajah
Kecuali roda berputar yang selalu berpindah dan menempati posisi sama, dalam durasi waktu yang telah ditakdirkan, semuanya tidak bersifat seperti itu, maupun kehidupan, dimana masa lalu akan selalu sudah berlalu, sedangkan masa depan hanya mampu menunggu, merangrang dekap pikiran yang setia mengurai harapan. Masa laluku adalah memori kolektif tentang kebahagiaan serta kemeranaan, mereka adalah sesuatu yang paling jauh untuk kugapai, namun paling membekas, membayang. Masa laluku adalah sekumpulan memoar yang tak sempat aku tuliskan, apalagi bukukan. Namun setidaknya aku tertolong dengan teknologi, ya, untunglah ada mesin perekam cahaya, dengan segala pemain citra yang aku hormati keberadaannya.
            Selain lembaran foto yang merepresentasikan kebersamaan, tidak ada lagi yang bisa aku reka ulang, tidak ada satupun potret diriku itu, yang sedang melukiskan keraguan, kesendirian. Padahal akulah penyendiri itu. Terkadang aku ingat beberapa hal yang seharusnya aku lupakan jauh-jauh, aku kandangkan rapat-rapat karena begitu menyesakkan dada, namun juga ternyata aku tak ingin melupakannya begitu saja. Ah. Kalau berpikiran seperti ini terus, kelihatannya tidak ada yang menyenangkan dari kehidupan masa kecilku, tapi sesungguhnya ada, dan akan aku paparkan di paragraf selanjutnya
            Mungkin sekitar kelas 4 Sekolah Dasar, aku pernah melakukan sebuah tamasya bersama keluarga besarku yang terdiri dari kakek, nenek, ayah, ibu, aku, adik, budhe, pakdhe, serta sepupuku. Tamasya kala itu layaknya tamasya-tamasya yang biasa dilakukan oleh keluarga-keluarga lainnya, mengunjungi tempat yang menyenangkan sekaligus edukatif untuk anak-anak seusiaku, adikku, serta sepupuku. Sebenarnya tidak banyak yang aku ingat dari tamasya kami, mungkin beberapa yang aku ingat adalah kami berangkat dari rumah budheku di Sidoarjo, lalu menuju ke Pandaan guna mengunjungi Taman Safari. Kami berangkat dengan kondisi penuh suka cita, dimana memang pada saat itu kami memiliki cukup uang untuk bepergian bersama, berbahagia bersama. Beberapa lagi yang kuingat betul adalah ketika aku, adikku, sepupuku, serta budheku memberanikan diri untuk menunggangi gajah yang memang disediakan untuk ditunggangi pengunjung dengan membayar sekitar 15-20 ribu, untuk dua kali putaran pada waktu itu. Aku begitu mengingatnya karena terbantu pula oleh teknologi lukis cahaya, tustel jadul merk Fujifilm dengan gantungan tali hitam andalan Bapakku.
Tiada hal lain yang aku ingat selain rona wajah kami yang tidak pandai membujuk kebahagiaan yang terlanjur tumpah ruah. Kalau kulihat lagi hasil foto tersebut, mungkin itulah salah satu momen terbahagia kami, dimana orangtuaku merasa puas karena dapat mengajak tamasya anaknya keluar kota, dimana kakek nenekku merasa utuh sebagai insan yang mampu melihat kebahagiaan cucu-cucunya, serta pakdhe budheku yang juga puas melihat anak semata wayangnya dapat tertawa selepas-lepasnya. Semoga suatu saat aku bisa bertamasya lagi, ke masa laluku, saat aku berbaju biru ukuran M seri anak-anak dan sedang menunggangi gajah.




Chapter 2 :      Restoran Cemara
           
Sekalipun aku adalah seseorang yang selalu menanamkan sikap bahwa hidup harus selalu tiada penyesalan, disisi lain ada beberapa hal yang selalu aku sesalkan, hingga saat ini. Kota Lumajang merupakan tempat dimana aku dibesarkan mulai usia 1 tahun hingga 20 tahun, dengan julukannya sebagai ‘kota pisang’, kota kecil tersebut memang merupakan produsen pisang yang terkenal di seluruh Pulau Jawa, ikon kota tersebut adalah Pisang Raja yang berukuran besar dan hanya bisa ditemui di Kota Lumajang, namun persetan dengan itu semua, karena bukanlah itu yang ingin aku ceritakan, melainkan sebuah restoran yang pernah jaya pada masanya di kota kecil tempatku bercengkerama dengan keluarga kecilku.
            Restoran Cemara namanya, konsep yang diusung oleh restoran ini adalah lesehan dengan tawaran suasana Joglo khas Jawa dipinggir sawah. Harga makanan yang dijual di Restoran Cemara terbilang cukup mahal, namun keluargaku sering mengunjunginya. Kami dengan komposisi keluarga berupa ayah, ibu, kakek, nenek, aku, serta adik perempuanku, selalu memesan dengan porsi yang sangat banyak, dua ikan gurami dan 2 ayam goreng menjadi menu andalan yang sering kami pesan, teh hangat untuk 5 orang, dan sisanya es jeruk yang selalu digemari ibuku, menjadi pelega dahaga kami.
            Tempat tersebut memiliki beberapa wahana bermain anak yang tidak terlalu banyak, yang kuingat disana terdapat jungkat-jungkit dan ayunan yang biasa aku mainkan bersama adikku. Dua wahana tersebut sudah terlihat cukup tua dengan besi yang juga agak lapuk dilapisi cat logam murahan. Namun hal sederhana tersebut mampu menawarkan tawa. Kesenangan adikku merupakan hal yang biasa bagiku, cuma sekedar tawa riang biasa yang selalu terpancar dari wajahnya yang mungil. Seperti tawa-tawa lain yang biasa ia tunjukkan dengan sangat kencang, suara adikku memang cempreng, kadang membuatku sumpek saking melengkingnya suaranya. Kadang pula adikku memaksaku untuk menemaninya bermain di wahana tersebut, padahal aku sedang tidak mood menemaninya bermain, ujung-ujungnya dia menangis, merengek pada ibu agar memarahiku serta menyuruhku menemaninya bermain. Kadang juga adikku tiba-tiba meminum habis teh hangatku, seketika aku marah hingga mencubitnya, lagi-lagi ia akan menangis dan melaporkannya pada ibu. Menyebalkan.
            Namun sekarang, di usiaku yang sudah 21 tahun, dengan misiku merantau di Kota Surabaya, demi menempuh pendidikan di sebuah universitas terpandang, aku merindukan itu semua. Aku rindu ketika adikku yang masih kecil mungil, bersuara cempreng, serta derap-derap kakinya yang juga mungil, tiba-tiba mengajakku, menggeret tubuhku yang besar untuk bermain dengannya. Aku rindu kalimat yang selalu terlontar polos dari mulutnya “Maaaas! Ayo dulinan!.” Sekarang tinggal sesal ketika aku beranjak dewasa dan semakin sedikit waktuku untuk bercengkerama dengannya.


0 komentar:

Posting Komentar