Pelukis Masa
Chapter 1 : Gajah
Kecuali roda berputar yang selalu berpindah dan
menempati posisi sama, dalam durasi waktu yang telah ditakdirkan, semuanya
tidak bersifat seperti itu, maupun kehidupan, dimana masa lalu akan selalu
sudah berlalu, sedangkan masa depan hanya mampu menunggu, merangrang dekap
pikiran yang setia mengurai harapan. Masa laluku adalah memori kolektif tentang
kebahagiaan serta kemeranaan, mereka adalah sesuatu yang paling jauh untuk
kugapai, namun paling membekas, membayang. Masa laluku adalah sekumpulan memoar
yang tak sempat aku tuliskan, apalagi bukukan. Namun setidaknya aku tertolong
dengan teknologi, ya, untunglah ada mesin perekam cahaya, dengan segala pemain
citra yang aku hormati keberadaannya.
Selain lembaran foto yang
merepresentasikan kebersamaan, tidak ada lagi yang bisa aku reka ulang, tidak
ada satupun potret diriku itu, yang sedang melukiskan keraguan, kesendirian.
Padahal akulah penyendiri itu. Terkadang aku ingat beberapa hal yang seharusnya
aku lupakan jauh-jauh, aku kandangkan rapat-rapat karena begitu menyesakkan
dada, namun juga ternyata aku tak ingin melupakannya begitu saja. Ah. Kalau
berpikiran seperti ini terus, kelihatannya tidak ada yang menyenangkan dari
kehidupan masa kecilku, tapi sesungguhnya ada, dan akan aku paparkan di
paragraf selanjutnya
Mungkin sekitar kelas 4 Sekolah
Dasar, aku pernah melakukan sebuah tamasya bersama keluarga besarku yang
terdiri dari kakek, nenek, ayah, ibu, aku, adik, budhe, pakdhe, serta sepupuku.
Tamasya kala itu layaknya tamasya-tamasya yang biasa dilakukan oleh
keluarga-keluarga lainnya, mengunjungi tempat yang menyenangkan sekaligus
edukatif untuk anak-anak seusiaku, adikku, serta sepupuku. Sebenarnya tidak
banyak yang aku ingat dari tamasya kami, mungkin beberapa yang aku ingat adalah
kami berangkat dari rumah budheku di Sidoarjo, lalu menuju ke Pandaan guna
mengunjungi Taman Safari. Kami berangkat dengan kondisi penuh suka cita, dimana
memang pada saat itu kami memiliki cukup uang untuk bepergian bersama,
berbahagia bersama. Beberapa lagi yang kuingat betul adalah ketika aku, adikku,
sepupuku, serta budheku memberanikan diri untuk menunggangi gajah yang memang
disediakan untuk ditunggangi pengunjung dengan membayar sekitar 15-20 ribu,
untuk dua kali putaran pada waktu itu. Aku begitu mengingatnya karena terbantu
pula oleh teknologi lukis cahaya, tustel jadul
merk Fujifilm dengan gantungan tali hitam andalan Bapakku.
Tiada hal lain yang aku ingat selain rona wajah kami
yang tidak pandai membujuk kebahagiaan yang terlanjur tumpah ruah. Kalau
kulihat lagi hasil foto tersebut, mungkin itulah salah satu momen terbahagia
kami, dimana orangtuaku merasa puas karena dapat mengajak tamasya anaknya
keluar kota, dimana kakek nenekku merasa utuh sebagai insan yang mampu melihat
kebahagiaan cucu-cucunya, serta pakdhe budheku yang juga puas melihat anak
semata wayangnya dapat tertawa selepas-lepasnya. Semoga suatu saat aku bisa
bertamasya lagi, ke masa laluku, saat aku berbaju biru ukuran M seri anak-anak
dan sedang menunggangi gajah.
Chapter 2 : Restoran Cemara
Restoran Cemara namanya, konsep yang
diusung oleh restoran ini adalah lesehan dengan tawaran suasana Joglo khas Jawa
dipinggir sawah. Harga makanan yang dijual di Restoran Cemara terbilang cukup
mahal, namun keluargaku sering mengunjunginya. Kami dengan komposisi keluarga
berupa ayah, ibu, kakek, nenek, aku, serta adik perempuanku, selalu memesan
dengan porsi yang sangat banyak, dua ikan gurami dan 2 ayam goreng menjadi menu
andalan yang sering kami pesan, teh hangat untuk 5 orang, dan sisanya es jeruk
yang selalu digemari ibuku, menjadi pelega dahaga kami.
Tempat tersebut memiliki beberapa
wahana bermain anak yang tidak terlalu banyak, yang kuingat disana terdapat
jungkat-jungkit dan ayunan yang biasa aku mainkan bersama adikku. Dua wahana
tersebut sudah terlihat cukup tua dengan besi yang juga agak lapuk dilapisi cat
logam murahan. Namun hal sederhana tersebut mampu menawarkan tawa. Kesenangan
adikku merupakan hal yang biasa bagiku, cuma sekedar tawa riang biasa yang
selalu terpancar dari wajahnya yang mungil. Seperti tawa-tawa lain yang biasa
ia tunjukkan dengan sangat kencang, suara adikku memang cempreng, kadang
membuatku sumpek saking melengkingnya
suaranya. Kadang pula adikku memaksaku untuk menemaninya bermain di wahana
tersebut, padahal aku sedang tidak mood menemaninya bermain, ujung-ujungnya dia
menangis, merengek pada ibu agar memarahiku serta menyuruhku menemaninya
bermain. Kadang juga adikku tiba-tiba meminum habis teh hangatku, seketika aku
marah hingga mencubitnya, lagi-lagi ia akan menangis dan melaporkannya pada
ibu. Menyebalkan.
Namun sekarang, di usiaku yang sudah
21 tahun, dengan misiku merantau di Kota Surabaya, demi menempuh pendidikan di
sebuah universitas terpandang, aku merindukan itu semua. Aku rindu ketika
adikku yang masih kecil mungil, bersuara cempreng, serta derap-derap kakinya
yang juga mungil, tiba-tiba mengajakku, menggeret tubuhku yang besar untuk
bermain dengannya. Aku rindu kalimat yang selalu terlontar polos dari mulutnya
“Maaaas! Ayo dulinan!.” Sekarang tinggal sesal ketika aku beranjak dewasa dan
semakin sedikit waktuku untuk bercengkerama dengannya.
0 komentar:
Posting Komentar