14 Feb 2017

20

          “Iyo cok, wes lapo ae aku ndek rong puluh tahun iki?” celetuk Ridho. Seperti di malam-malam yang telah kami luangkan sebelumnya, malam itu diri kami—lagi-lagi—tak lepas pada suatu ritual yang tak enggan kami ibadahkan tiap malam, yaitu ngopi. Sayangnya kala itu kami hanya datang berenam dari 12 orang squad ngopi yang biasa melakukan ibadah ini bersama-sama, hanya ada aku, Luky, Alif, Ridho, Dekha serta Poli. Memang malam itu kami tak bisa berkumpul ramai-ramai, dikarenakan pula, saat itu merupakan pekan-pekan liburan, dimana beberapa dari kami yang merupakan anak perantauan, memiliki waktu sejenak untuk pulang ke kampung halaman tuk sekedar bercanda—ataupun kembali berserteru tegang—dengan keluarganya masing-masing. Aku sendiri sebenarnya adalah anak rantau, rumahku yang berada di Kabupaten Lumajang, mengharuskanku menempuh perjalanan darat sekitar 4-5 jam guna memenuhi keinginan melanjutkan pendidikan di Kota Surabaya. Pada liburan semester ini, aku hanya sempat pulang selama seminggu, lalu setelahnya aku kembali ke pesakitanku di Surabaya dikarenakan tugas-tugas organisasi BEM sudah membuntutiku, kalau tak segera kuterjang, bisa-bisa ia tak hanya membuntuti, tapi—sedikit demi sedikit namun pasti—akan menerkam hamba.
Yah, ngopi memang sebuah injeksi kafein yang dibutuhkan kepala pening kami, ini adalah salah satu dari beberapa anestesi bagi pikiran-pikiran—yang tidak seberapa liar—namun sedikit kacau balau kami, dan juga sarana kami tuk berkumpul merencanakan sebuah gerakan-gerakan swadaya kecil namun pasti. Namun malam itu berbeda, kami sedikit enggan tuk sekedar membahas gerakan, kami-pun tidak seberapa lelah hingga pening menerjang kepala, yang biasanya kami redakan dengan cepat-cepat menyeruput kopi, yap, injeksi kafein. Ibadah kami malam itu nampaknya berbeda, begitu pula cuaca Kota Surabaya. Hujan seharian membuat malam itu terasa begitu dingin, kami yang hanya berenam ini sampai memasang kembali jaket-jaket yang tadinya telah disampirkan disisi tempat kami duduk. “Adem cok!” seru Dekha memecah keheningan sembari kumasukkan lenganku ke tebalnya jaket denim. Puntung rokok telah memenuhi asbak bundar yang berada ditengah-tengah pergumulan, kotak-kotak rokok kami juga makin tersisa 3-4 batang saja tanpa menelurkan asa yang bisa kami garap seperti peribadatan-peribadatan sebelumnya. Sebatang rokok menyala kupautkan begitu saja di bibir asbak hingga termakan angin.
Luky yang terlihat menyimpan sebuah misi mulai mengangakan mulutnya. Ia memang yang paling terlihat memikirkan sesuatu dari awal pertemuan kami malam itu. “Haah, ulan ngarep bojoku (pacarku), budal study excursie nang Malaysia, lha aku lapo cuk?” Seketika ia mengatupkan kembali bibirnya. Kami-pun mulai menyahuti pernyataan tersebut. Ada yang menjawab asal-asalan, ada juga yang menjawab dengan pernyataan serta pemaparan pengalaman yang begitu mendalam. Terlampau filosofis kadangkala. Pernyataan Luky seakan menjadi pemantik api bagi rotan-rotan yang sudah dibubuhi minyak tanah. Kami larut pada perenungan-perenungan yang amat sangat dalam, padahal tempat dan waktunya sangat sederhana, hanya tengah malam pada suatu giras yang bertempat di Jalan Gayung Kebon Sari pinggir supermarket, dengan meja dan kursi persegi panjang yang ditata ber-shaf-shaf layaknya jamaah Sholat Jum’at. Serentak kami mulai memperbincangkan masa depan, kami mulai mempermasalahkan usia kami yang mulai menginjak kepala dua, kami mulai bergumam tentang pencapaian-pencapaian kami selama 20 tahun hidup di bumi—yang katanya—milik manusia. “Aku wes umur sakmene tapi yo sek ndek kene-kene ae, gak tau metu-metu Suroboyo”, ujar Luky. Ia seakan tidak puas dengan beberapa pencapaiannya sendiri, padahal kalau boleh membandingkan dengan kami, ia sudah mencapai banyak hal dalam hidupnya, salah satunya yang paling baru ia capai adalah memenangkan percaturan politik kampus guna menjadi ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan.
Ridho yang awalnya lebih banyak diam pun akhirnya turut menggerutu, “Iyo, aku iki rasane ndak lapo-lapo, padahal wes umur sakmene”, Ah, lagi-lagi, padahal kalau boleh kubandingkan dengan kami, Ridho adalah salah satu dari kami yang paling mahir di bidang perfilman, baru-baru ini ia menjadi ketua diklat UKM Sinematografi Universitas. “Apakah itu bukan pencapaian?” Aku terus mencecar dalam hati. Celetukan kembali dilontarkan oleh Luky, kali ini ia membicarakan perihal asmara. Ia bertutur bahwa di umurnya yang semakin menua, ia mulai me-reng-reng kehidupan asmaranya kelak. Ia sudah memiliki kekasih, calon terbaik menurut versinya. Namun Luky masih kebingungan, dimana dia dan kekasihnya sama-sama study oriented person yang menginginkan jenjang pendidikan S2. Dilema, antara harus beranjak ke jenjang pendidikan S2 seperti kekasihnya, atau bekerja terlebih dahulu guna mempersiapkan kehidupan mereka berdua kelak.
Seketika muncul kembali angan-angan yang sudah beberapa lama kucumbui dalam perenunganku tiap kali menyendiri, proyeksi kehidupan di masa depan. Aku pernah berangan-angan, aku pernah bersenandika, asa serta keinginan yang selalu kupelihara hingga detik ini, tentang masa depanku, dimana aku berharap supaya bisa lulus tepat waktu, mencari pekerjaan dengan gaji yang layak, lalu sesegera mungkin melamar kekasihku. Ya, melamarnya, aku belum berpikir cukup berani untuk mengajaknya ke jenjang kehidupan berdua yang lebih serius tanpa berbekal materi secara mandiri. Kedua orangtuaku pernah berujar, bahwasanya aku harus  memiliki pekerjaan terlebih dahulu baru memberanikan diri tuk meminang kekasihku. Sangat masuk akal, memangnya mau kuberi makan apa nanti istriku kelak kalau pekerjaan-pun aku tak punya? Ah.
Kekasihku pernah menceritakan tentang harapannya dimasa depan, dimana ia ingin melanjutkan terlebih dahulu ke jenjang pendidikan S2 sebelum bekerja, di luar Kota Surabaya pastinya. Ya, salah satu proyeksi dirinya di masa depan adalah menjadi seorang dosen DKV, seperti fokus keilmuan yang ia tekuni sekarang. Kadangkala iri memang, mendengar cita-cita pekerjaan yang akan ditekuni kekasihku sudah tergambar mantap, sedangkan aku masih acak kadut dan kadang pula terbelenggu pikiran “pokoknya kerja dulu, biar dapat modal berkehidupan di jenjang yang lebih serius”. Malam itu memang Luky dan aku yang mendominasi pembicaraan, mungkin karena bagi yang lain pembicaraan macam ini tidaklah menarik, atau mungkin karena memang baru kami berdua-lah yang terlampau cepat memikirkan hal-hal tersebut? Entahlah. Luky melanjutkan pergulatan pikirannya dengan membahas budaya kami di Pulau Jawa yang sangat patriarkis, ia pun berujar “cok, yaopo lek penghasilanku ndek ningsore bojoku? Isin dadi lanang cok!”. Dilema kami menjadi kuadrat, atau mungkin sudah pangkat tiga? atau empat?. Aku jadi ikut memikirkannya.

Kami menghela nafas panjang, menghidupkan kembali batang-batang rokok yang masih tersisa, mengisap asapnya lalu menghembuskannya agar bebas bersama hawa Kota Surabaya yang sedang dingin-dinginnya, lalu menyeruput sisa-sisa kopi yang sudah berada diujung lethek’e. Aku jadi teringat nasihat orangtuaku, bapak, ibuk, nenekku, serta almarhum kakekku, yang intinya berharap agar nanti diriku kelak ‘biso dadi uwong’, dimana kalau sudah ada di tingkatan tersebut, aku bisa mempergunakan ilmu dan rejeki yang aku dapat untuk membantu sesama. Piikiranku makin campur aduk, pangkat lima sekarang. Masih banyak hutang budi yang harus kubalas kepada orangtuaku, aku sudah terlampau lama menjadi parasit materi dan kegundahan hati mereka. Memang mereka tidak mengharapkan aku tuk membalas kebaikan mereka, namun namanya juga manusia jawa, hutang budi menjadi sebuah keharusan yang perlu dituntaskan, dibinasakan tanpa indikator yang jelas.  Pembicaraan macam ini memang membuat kami lelah, bukan lelah secara fisik, namun mental kami yang merasakan, lelah ketika harus memikirkan sebuah prediksi kehidupan, yang fardhu ain diperjuangkan, nan harus pula dinantikan hadirnya. Hingga, tepat pukul 03.15 dinihari, kami memutuskan untuk merampungkan peribadatan kami. Peribadatan yang khusyuk namun begitu berbeda dari peribadatan-peribadatan kami sebelumnya. Kali ini semesta menuntut kami tuk pulang dengan membawa kegundahan, cangkir-cangkir kopi menuntut kami tuk bersenggama dengan liang-liang nalar yang menuntut kepastian. Semoga kehidupan bersahabat dengan semua pihak yang mengusahakan.

0 komentar:

Posting Komentar