“Iyo
cok, wes lapo ae aku ndek rong puluh tahun iki?” celetuk Ridho. Seperti di
malam-malam yang telah kami luangkan sebelumnya, malam itu diri kami—lagi-lagi—tak
lepas pada suatu ritual yang tak enggan kami ibadahkan tiap malam, yaitu ngopi. Sayangnya kala itu kami hanya
datang berenam dari 12 orang squad ngopi
yang biasa melakukan ibadah ini bersama-sama, hanya ada aku, Luky, Alif, Ridho,
Dekha serta Poli. Memang malam itu kami tak bisa berkumpul ramai-ramai,
dikarenakan pula, saat itu merupakan pekan-pekan liburan, dimana beberapa dari
kami yang merupakan anak perantauan, memiliki waktu sejenak untuk pulang ke kampung
halaman tuk sekedar bercanda—ataupun kembali berserteru tegang—dengan keluarganya
masing-masing. Aku sendiri sebenarnya adalah anak rantau, rumahku yang berada
di Kabupaten Lumajang, mengharuskanku menempuh perjalanan darat sekitar 4-5 jam
guna memenuhi keinginan melanjutkan pendidikan di Kota Surabaya. Pada liburan
semester ini, aku hanya sempat pulang selama seminggu, lalu setelahnya aku
kembali ke pesakitanku di Surabaya dikarenakan tugas-tugas organisasi BEM sudah
membuntutiku, kalau tak segera kuterjang, bisa-bisa ia tak hanya membuntuti,
tapi—sedikit demi sedikit namun pasti—akan menerkam hamba.
Yah, ngopi memang sebuah injeksi kafein yang
dibutuhkan kepala pening kami, ini adalah salah satu dari beberapa anestesi bagi
pikiran-pikiran—yang tidak seberapa liar—namun sedikit kacau balau kami, dan
juga sarana kami tuk berkumpul merencanakan sebuah gerakan-gerakan swadaya
kecil namun pasti. Namun malam itu berbeda, kami sedikit enggan tuk sekedar
membahas gerakan, kami-pun tidak seberapa lelah hingga pening menerjang kepala,
yang biasanya kami redakan dengan cepat-cepat menyeruput kopi, yap, injeksi
kafein. Ibadah kami malam itu nampaknya berbeda, begitu pula cuaca Kota
Surabaya. Hujan seharian membuat malam itu terasa begitu dingin, kami yang
hanya berenam ini sampai memasang kembali jaket-jaket yang tadinya telah
disampirkan disisi tempat kami duduk. “Adem
cok!” seru Dekha memecah keheningan sembari kumasukkan lenganku ke tebalnya
jaket denim. Puntung rokok telah
memenuhi asbak bundar yang berada ditengah-tengah pergumulan, kotak-kotak rokok
kami juga makin tersisa 3-4 batang saja tanpa menelurkan asa yang bisa kami
garap seperti peribadatan-peribadatan sebelumnya. Sebatang rokok menyala
kupautkan begitu saja di bibir asbak hingga termakan angin.
Luky yang terlihat menyimpan sebuah misi mulai
mengangakan mulutnya. Ia memang yang paling terlihat memikirkan sesuatu dari
awal pertemuan kami malam itu. “Haah,
ulan ngarep bojoku (pacarku), budal study excursie nang Malaysia, lha aku lapo
cuk?” Seketika ia mengatupkan kembali bibirnya. Kami-pun mulai menyahuti
pernyataan tersebut. Ada yang menjawab asal-asalan, ada juga yang menjawab dengan
pernyataan serta pemaparan pengalaman yang begitu mendalam. Terlampau filosofis
kadangkala. Pernyataan Luky seakan menjadi pemantik api bagi rotan-rotan yang
sudah dibubuhi minyak tanah. Kami larut pada perenungan-perenungan yang amat sangat
dalam, padahal tempat dan waktunya sangat sederhana, hanya tengah malam pada
suatu giras yang bertempat di Jalan
Gayung Kebon Sari pinggir supermarket, dengan meja dan kursi persegi panjang
yang ditata ber-shaf-shaf layaknya jamaah Sholat Jum’at. Serentak kami mulai
memperbincangkan masa depan, kami mulai mempermasalahkan usia kami yang mulai
menginjak kepala dua, kami mulai bergumam tentang pencapaian-pencapaian kami
selama 20 tahun hidup di bumi—yang katanya—milik manusia. “Aku wes umur sakmene tapi yo sek ndek kene-kene ae, gak tau metu-metu
Suroboyo”, ujar Luky. Ia seakan tidak puas dengan beberapa pencapaiannya
sendiri, padahal kalau boleh membandingkan dengan kami, ia sudah mencapai
banyak hal dalam hidupnya, salah satunya yang paling baru ia capai adalah
memenangkan percaturan politik kampus guna menjadi ketua Himpunan Mahasiswa
Jurusan.
Ridho yang awalnya lebih banyak diam pun akhirnya
turut menggerutu, “Iyo, aku iki rasane
ndak lapo-lapo, padahal wes umur sakmene”, Ah, lagi-lagi, padahal kalau
boleh kubandingkan dengan kami, Ridho adalah salah satu dari kami yang paling
mahir di bidang perfilman, baru-baru ini ia menjadi ketua diklat UKM
Sinematografi Universitas. “Apakah itu
bukan pencapaian?” Aku terus mencecar dalam hati. Celetukan kembali
dilontarkan oleh Luky, kali ini ia membicarakan perihal asmara. Ia bertutur
bahwa di umurnya yang semakin menua, ia mulai me-reng-reng kehidupan asmaranya
kelak. Ia sudah memiliki kekasih, calon terbaik menurut versinya. Namun Luky
masih kebingungan, dimana dia dan kekasihnya sama-sama study oriented person yang menginginkan jenjang pendidikan S2.
Dilema, antara harus beranjak ke jenjang pendidikan S2 seperti kekasihnya, atau
bekerja terlebih dahulu guna mempersiapkan kehidupan mereka berdua kelak.
Seketika muncul kembali angan-angan yang sudah
beberapa lama kucumbui dalam perenunganku tiap kali menyendiri, proyeksi
kehidupan di masa depan. Aku pernah berangan-angan, aku pernah bersenandika, asa
serta keinginan yang selalu kupelihara hingga detik ini, tentang masa depanku,
dimana aku berharap supaya bisa lulus tepat waktu, mencari pekerjaan dengan
gaji yang layak, lalu sesegera mungkin melamar kekasihku. Ya, melamarnya, aku
belum berpikir cukup berani untuk mengajaknya ke jenjang kehidupan berdua yang
lebih serius tanpa berbekal materi secara mandiri. Kedua orangtuaku pernah
berujar, bahwasanya aku harus memiliki
pekerjaan terlebih dahulu baru memberanikan diri tuk meminang kekasihku. Sangat
masuk akal, memangnya mau kuberi makan apa nanti istriku kelak kalau
pekerjaan-pun aku tak punya? Ah.
Kekasihku pernah menceritakan tentang harapannya
dimasa depan, dimana ia ingin melanjutkan terlebih dahulu ke jenjang pendidikan
S2 sebelum bekerja, di luar Kota Surabaya pastinya. Ya, salah satu proyeksi
dirinya di masa depan adalah menjadi seorang dosen DKV, seperti fokus keilmuan
yang ia tekuni sekarang. Kadangkala iri memang, mendengar cita-cita pekerjaan
yang akan ditekuni kekasihku sudah tergambar mantap, sedangkan aku masih acak
kadut dan kadang pula terbelenggu pikiran “pokoknya
kerja dulu, biar dapat modal berkehidupan di jenjang yang lebih serius”. Malam
itu memang Luky dan aku yang mendominasi pembicaraan, mungkin karena bagi yang
lain pembicaraan macam ini tidaklah menarik, atau mungkin karena memang baru
kami berdua-lah yang terlampau cepat memikirkan hal-hal tersebut? Entahlah.
Luky melanjutkan pergulatan pikirannya dengan membahas budaya kami di Pulau
Jawa yang sangat patriarkis, ia pun berujar “cok,
yaopo lek penghasilanku ndek ningsore bojoku? Isin dadi lanang cok!”.
Dilema kami menjadi kuadrat, atau mungkin sudah pangkat tiga? atau empat?. Aku
jadi ikut memikirkannya.
Kami menghela nafas panjang, menghidupkan kembali
batang-batang rokok yang masih tersisa, mengisap asapnya lalu menghembuskannya
agar bebas bersama hawa Kota Surabaya yang sedang dingin-dinginnya, lalu
menyeruput sisa-sisa kopi yang sudah berada diujung lethek’e. Aku jadi teringat nasihat orangtuaku, bapak, ibuk,
nenekku, serta almarhum kakekku, yang intinya berharap agar nanti diriku kelak ‘biso dadi uwong’, dimana kalau sudah
ada di tingkatan tersebut, aku bisa mempergunakan ilmu dan rejeki yang aku
dapat untuk membantu sesama. Piikiranku makin campur aduk, pangkat lima
sekarang. Masih banyak hutang budi yang harus kubalas kepada orangtuaku, aku
sudah terlampau lama menjadi parasit materi dan kegundahan hati mereka. Memang
mereka tidak mengharapkan aku tuk membalas kebaikan mereka, namun namanya juga
manusia jawa, hutang budi menjadi sebuah keharusan yang perlu dituntaskan,
dibinasakan tanpa indikator yang jelas. Pembicaraan
macam ini memang membuat kami lelah, bukan lelah secara fisik, namun mental
kami yang merasakan, lelah ketika harus memikirkan sebuah prediksi kehidupan,
yang fardhu ain diperjuangkan, nan
harus pula dinantikan hadirnya. Hingga, tepat pukul 03.15 dinihari, kami
memutuskan untuk merampungkan peribadatan kami. Peribadatan yang khusyuk namun
begitu berbeda dari peribadatan-peribadatan kami sebelumnya. Kali ini semesta
menuntut kami tuk pulang dengan membawa kegundahan, cangkir-cangkir kopi
menuntut kami tuk bersenggama dengan liang-liang nalar yang menuntut kepastian.
Semoga kehidupan bersahabat dengan semua pihak yang mengusahakan.
0 komentar:
Posting Komentar