Indonesia merupakan sebuah negara yang
berkemajemukan dalam segala aspeknya, mulai dari suku, agama, ras, dan lain
sebagainya. Namun kemajemukan ini ternyata tak sepenuhnya dibebaskan
sebebas-bebasnya. Indonesia merupakan negara republik yang hanya mengakui 6
agama yang ada didalamnya, yaitu Islam, Kristen, Katholik, Buddha, Hindu,
Konghucu. Hal ini tentulah merupakan sebuah blunder bagi Indonesia yang mengaku
sebagai negara majemuk dan menghargai perbedaan, namun masih membatasi warganya
untuk memeluk suatu agama maupun kepercayaan. Implikasinya adalah para penganut
Animisme maupun Dinamisme tak mendapatkan tempat didalam masyarakat Indonesia,
contoh kecilnya adalah mereka dengan terpaksa harus mengisi kolom agama pada
KTP sesuai dengan 6 agama yang diakui di Indonesia. Para penganut Animisme
maupun Dinamisme saja tidak mendapatkan tempat, apalagi mereka yang memilih
untuk menjadi Agnostik-atheis.
Bima Adi Priambodo (23) atau yang akrab dipanggil
dengan sebutan Bima, merupakan seorang alumni mahasiswa Ilmu Komunikasi
Universitas Airlangga yang baru saja lulus pada bulan September 2016 lalu. Pria
yang berdomisili di Kecamatan Asemrowo Kota Surabaya ini memilih untuk menjadi
seorang Agnostik-atheis yang tentunya merupakan hal sangat langka dikalangan
teman-teman sepergaulannya. Menurutnya, Agnostik-atheis adalah istilah dalam
ranah teologi dimana manusia dihadapkan pada posisi tidak memiliki pemahaman
atau pengetahuan yang cukup terhadap hal yang ilahiah. Implikasinya adalah,
seorang agnostik-atheis tidak dapat mempercayai yang disebut Tuhan oleh agama
manapun karena terbatasnya pengetahuan manusia untuk menjangkau yang ilahi
melalui penginderaan dan pengetahuan. Dalam kesehariannya seorang agnostik
atheis tidak berkomitmen terhadap ritual maupun ajaran agama yang diperkenalkan
padanya. Bima sendiri mengakui bahwa ia sekarang telah meninggalkan semua
ritual keagamaan yang tertulis dalam Kartu Tanda Penduduknya.
Bima mengakui bahwa orang yang paling berpengaruh
dalam keputusannya menjadi seorang Agnostik-atheis adalah ibunya. Hal ini
dikarenakan ibunya sering memberikan referensi berupa literatur tentang
agama-agama di dunia, dan menurut Bima tiap agama-agama ini, terutama agama
samawi (agama yang diturunkan kepada abraham dan keturunannya) memiliki
kemiripan dengan agama pendahulunya. Dari situ menurut Bima terdapat sebuah
kejanggalan dimana agama yang seharusnya dijadikan pedoman, terus mengalami
penyempurnaan dari masa ke masa. Sehingga Bima berkesimpulan bahwa ajaran yang
dikenalkan pada jaman itu tidak konsisten. Memang tak hanya literatur-literatur
dari ibunya yang membuat Bima menjadi demikian, namun disisi lain ia juga
mempelajari literatur-literatur lain seperti filsafat dan budaya.
Bima lantas merasa mantap dan memutuskan untuk
menjadi Agnostik-atheis karena pada akhirnya ia merasa bahwa kekuatan besar
yang disebut Tuhan, hanyalah sesuatu yang belum dapat dipahami secara rasional
maupun empiris, dan bumbu-bumbu mistik jaman dahulu membuat orang terlalu
menggantungkan pemikiran dan tindakan mereka kepada Tuhan. Padahal, manusia
bisa mencapai kesempurnaan diri tanpa perlu mengaitkan deengan hal-hal yang
bernuansa mistik. “Bayangkan saja, jika orang yang tengah sakit keras dan butuh
penanganan medis terus berdoa tanpa melakukan pengobatan, padahal ia memiliki
peluang untuk sembuh melalui prosedur medis. Dari situ saya berpandangan bahwa
hidup ini harus diperjuangkan dengan segala daya tanpa perlu menggantungkan
diri pada sesuatu yang tidak kita ketahui seperti Tuhan” tuturnya.
Dalam kehidupannya sehar-hari, ia banyak mendapati
orang-orang yang pro dan kontra terhadap apa yang telah ia pilih sebagai jalan
hidup. Mereka yang pro biasanya mempertanyakan bagaimana Bima bisa tidak
percaya terhadap suatu entitas yang maha kuasa. Sementara itu yang kontra
cenderung mencibir dan terkesan menjauhkan diri mereka dari Bima. Contohnya
pada saat Bima berkunjung ke rumah seorang teman, mereka sekeluarga sedang
menjalankan Sholat Ashar dan Bima tengah duduk di dalam kamar temannya. Lantas
Ibu dari teman Bima bertanya “kenapa temanmu tidak sholat?” menimbang
pengetahuan orangtuanya dan latar belakang keluarga, teman Bima menjawab bahwa
Bima beragama Hindu. Esok harinya Bima merasa tidak enak hati dan mengikuti
mereka sholat berjamaah meskipun hanya sebagai formalitas. Kemudian ibu dari
teman Bima bertanya lagi “katanya temanmu Hindu, kok ikut sholat?” kemudian
teman Bima menjelaskan yang sejujurnya bahwa Bima tidak cukup percaya dengan
tuhan dan agama yang diperkenalkan oleh manusia. Ibunya terheran dan menganggap
bahwa apa yang Bima percayai ini salah. Sebab dibandingkan agamanya yang
menurutnya paling sempurna, apa yang Bima yakini ini adalah hal yang tidak mungkin
terjadi.
Bima mulai merasa ketidaknyamanan terhadap
kepercayaan yang pernah ia anut sejak 7 tahun lalu, dimana ia mulai meragukan
beberapa hal tentang Tuhan dan agama yang ia anut sejak lahir. Ia bertutur
bahwa menjadi Agnostik-atheis bukan suatu hal yang memerlukan prosedur susah
seperti berpindah agama ataupun lainnya. Pada akhirnya ia harus menerima
kenyataan bahwa apa yang ia pilih memang susah dan cenderung untuk tidak bisa
diterima di kalangan masyarakat luas disekitarnya. Namun, ia tetap percaya bahwa
kehidupan harus tetap berjalan sebagaimana mestinya dengan segala resiko yang
telah ia telaah baik-baik sebelum memutuskan diri menjadi seorang
Agnostik-atheis.
0 komentar:
Posting Komentar