Rentang
Suara lirih
Dingin hujan
Lembab dinding
Ingatan mendayu
Sembari basahnya jalan ini
Juga tetes demi tetes air dari ujung daun cemara
Atau serabut-serabut rumput kering kuyup menyiprat
Ingatanku masih tentang malam itu
Dingin semu tiada abadi, ia yang memulai
Pekat gelap menyapa, tanpa gugup ia menyeringai
Riuh gema suara terpantul dari lantai ke atap-atap
Dingin menyerbu, kau kalungkan tanganmu
Di pundakku kau sandarkan kepalamu
Semilir hembus napas menggeliat di tengkuk ku
Juga bau rambutmu yang selalu mengesankanku
Lantas ku berbalik dari titik fokusku
Menuju tatap matamu, kedua mata bulatmu
Tak kuhiraukan pesona matamu
Malah perlahan kupejamkan mataku, diikuti pula oleh matamu
Hei! Sekarang bibir kita berjumpa!
Yang mengikuti? Waktu!
Ia berhenti!
Selama kita bergesekan tiap sudut, kanan ke kiri, kiri ke kanan
Hisap demi hisap, dengan bumbu gigitan kecil disekitaran
Lalu lidah kita berpagutan
Semesta tertunduk!
Bulan menyembah
Bintang membentuk barisan
Masih dalam keadaan waktu terhenti
Sesekali kupersilahkan waktu kembali
Tapi, biar sekali lagi kubuat waktu berhenti!
Atau berkali-kali?
Aku ingin waktu selamanya berhenti!
Tentunya, dengan tabur magismu
Selalu, hei kau. Milikku
-
Surabaya, 9 Oktober 2016, 04.06 WIB
Mohamad Ricky Sabastian
Ilustrasi foto : dokumen pribadi, dengan model Boy & Dina.
0 komentar:
Posting Komentar