25 Mei 2016

Entah Berantah, dimana?

Malam entah berantah, yang mulai enggan kuketahui keberadaannya. Aku selalu terpejam dalam ketidakpastian. Tentang segala narasi yang kucipta, dan dicipta alam sepanjang hari. Tak sepenggal isipun kukuasai maknanya, tak secuilpun kumengerti maksudnya, hanya sekedar gertak yang dikamuflase pelipur lara.

Kata beberapa kawan, mungkin ini titik terpeluh, dari sekujur badan hamba yang terlalu menghamba. Ketika debu mulai merenggut sekujur kulitku, lihat! Ini mulai mengering! Lalu berlusin-lusin nyamuk berdatangan, sigap siap menyantap darahku. Bercucuranlah merah-merah itu.

Sore pun enggan menemuiku, ia sembunyikan senjanya dari pelupuk mata ini. Ia dengan sengaja hamparkan awan kelabu tepat diatas kepalaku. Sang sore berhasil merenggut pelarianku. Sial sekali bukan?

Aku pulang saja, kembali ke bilikku yang kecil mungil. Biar kumainkan gitar bas yang kupinjam dari seorang teman itu. Biar kuiringi senandung senandung yang melagu di ponsel pintarku. Biar aku menyendiri dalam sunyi, letih, melebur satu dengan lirih lirik musik.

Paa.. Ra ra ra ra..

Tak lama ibu meneleponku, ia tanya kabarku, ia tanya perihal penyebab lunglaiku, penyebab semua nasihat demi nasihat mulianya tak kulaksanakan. Ah ibu, dengan tegas kujawab "ini karena diriku sendiri!". Kadang aku malas berdebat dengan ibuku tentang hal ini. Tentang keadaan ataukah diri hamba sendiri.

Ah, sial sial sial. Aku memikirkannya lagi. Berpikir tentang penyebab aku lari, dan ditambah lagi, aku merasa bersalah pada ibuku. Anak macam apa aku ini membentak seseorang yang  aku yakin bakal menyayangiku dan melindungiku selama-lamanya? Dasar diriku bodoh. Tiada berguna.

Oh, Tuhan. Bisakah aku pulang ke kampungku sekarang? Aku butuh hal itu, aku butuh senyum, dan usap sayu nan damai tangan ibuku....... Oh, belum boleh ya? Iya Tuhan, iya, disini banyak yang belum kutuntaskan. Mana bisa aku lari begitu saja? Adanya malah nanti aku bakal Kau laknat. Baiklah kalau begitu Tuhan, aku akan ikuti alurmu, alur yang diyakini para alim ulama adalah alur yang paling bijak.

Oh tunggu Tuhan, aku adalah pendosa kelas kakap, jadi bolehkah aku?

Bodoh sekali pertanyaanku barusan? Tentu aku akan Ia persilahkan! Aku tertampar keras oleh kecacatan logikaku sendiri! Bodoh, bodoh!

Menyesal lagi aku, terdiam mulutku, kosong pikiranku.

Tapi seketika lagu di ponselku berganti ke lagu milik Banda Neira yang berjudul "Yang Patah Tumbuh, Yang Hilang Berganti"

Jatuh dan tersungkur di tanah aku
Berselimut debu sekujur tubuhku 
Panas dan menyengat
Rebah dan berkarat

Yang, 
yang patah tumbuh, yang hilang berganti
Yang hancur lebur akan terobati
Yang sia-sia akan jadi makna
Yang terus berulang suatu saat henti
Yang pernah jatuh ‘kan berdiri lagi
Yang patah tumbuh, yang hilang berganti

Di mana ada musim yang menunggu?
Meranggas merapuh
Berganti dan luruh
Bayang yang berserah
Terang di ujung sana

Mereka musisi hebat! Dapat menyentuh serta memberi makna ditiap-tiap tempat tak terduga! Mungkin kali ini aku juga terhanyut makna mereka ya? 

Hei, iya juga.. Tak perlu lagi kucari entah berantah. Aku cuma harus selesaikan misiku. Seterusnya selama raga dan nyawaku masih bersatu.

0 komentar:

Posting Komentar