24 Des 2015

Mari Ikuti Jeda

Enam bulanku tanpa rasa dan aroma nasi yang dimatangkan ibu, aku seakan tercipta instan sebagai pengeluh profesional yang mengutuk segala bentuk ketidaksesuaian kehidupan. Ya, ini memang tak seperti bulan-bulan sebelumnya, saat hangat kasih keluarga kurasakan begitu dekat. Meskipun dalam hangatnya selalu saja terdapat duri penyebab ketidak harmonisan, namun harus kuakui, perasaan ini tetap mengasyikkan.

Mungkin aku memang terlahir sebagai seorang pengeluh handal, karena dimanapun aku tinggal, selalu ada saja yang kukeluhkan. Haha, sungguh ironi diatas ironi. Pengecut sekali hidupku.
------
Malam itu aku pulang, tepat dihari Kamis. Sekali lagi dengan banyak keluhan karena barang yang kubawa memang kebanyakan, mulai dari satu tas baju kotor hingga pernak-pernik yang sejatinya tak pernah berarti. 

Kulangkahkan kakiku menuju mobil travel yang sudah kupesan sehari sebelumnya dengan rasa penat, tapi juga bahagia karena akhirnya aku pulang kembali ke kotaku. Sungguh rasa demi rasa yang aneh. Lalu setelah lima jam dalam perjalanan, aku akhirnya sampai dirumah dengan disambut semua anggota keluarga. Bapak, Ibuk, Ai, juga Adek terimakasih telah menunggu hingga larut malam.
------
Beberapa hari setelah tiba di kotaku, seorang sahabat juga menyusul untuk pulang kampung. Seseorang yang berjiwa besar untuk ukuran gadis 18 tahun. Dia adalah seorang pengidam kepulangan. Pengidam kepulangan sesungguhnya yang bukan sembarang pulang. Ia seorang sahabat yang memimpikan kepulangannya ke masa lalu. Mungkin saat dia selalu merasakan hangat kasih yang begitu bertubi, atau dimana foto dirinya masih terpampang rapih di dinding tak berdebu, serta tak berubah arah piguranya sedikitpun.
------
Aku tahu akan hal itu, karena ia mengirimiku sebuah tulisan dihari kepulangannya. Sebuah tulisan yang kubaca hingga berulang kali tanpa bosan. Ini tulisan yang kumaksudkan :

Ini kah rumah?
Sepulang dari perantauan, aku tertegun dengan keadaan rumah. 
Berbeda dari 6 tahun yang lalu. Rumahku kini serasa mati tak berhati. 
Dapur sangat berantakan, gas LPG pun sudah tak terpasang. 
Bahkan gayung pecah pun tetap tak terganti. 
Sofa yang dulunya hangat, kini mendingin. 
Percakapan rumah hanya dilakukan seperlunya. 
Sedingin inikah keadaan keluargaku selama aku diperantauan? Miris rasanya. 
Membuatku bingung apa sebenarnya arti dari rumah? 
Orang bijak pernah mengatakan bahwa rumah adalah tempat kita kembali kepada orang-orang yang mencintai kita. 
Namun disini aku hanya merasakan kehampaan.
Bagiku rumahku adalah ibuku. 
Dia satu-satunya orang yang mencintaiku dengan tulus. 
Ibuku memang bukan dari keluarga kaya raya, juga bukan dari kalangan keluarga berpendidikan. Bahkan dia bukanlah orang yang melahirkanku. 
Tapi apapun yang aku suka, dia selalu mendukungku disaat yang lain mencemoohku. Menyayangiku tanpa pamrih apalagi membahas masalah komersil. 
Banyak pihak keluarga yang menyalahkanku, lantaran aku terlalu egois katanya. 
Membiarkan ibu dan ayahku yang sedang dalam keadaan renggang. 
Menurutku siapa yang egois? membiarkan gadis yang baru menginjak 17 tahun harus melakukan hal yang begitu berani? Tiba-tiba aku menjadi penakut. 
Takut aku tidak bisa membahagiakannya, takut tidak bisa membalas semua jasanya, takut ia pergi sebelum aku meminta maaf. 
Ya memang aku rapuh, aku terlalu naif untuk mengakui kalau aku takut. 
Buktinya aku hanya lari dari kenyataan dan meninggalkan keadaan ini begitu saja. 
Namun memang nyatanya keluarga ini terlalu cacat untuk dibenahi.
-barb, 2015-
selamat hari ibu

Ya, memang saat itu masih dalam suasana hari ibu, dan Barb (nama pena sahabatku) menuliskan sesuatu yang penuh makna tentang realita kehidupannya sendiri. 

Dihari itu juga aku merasa sangat tak berguna, merasa bersalah menjadi insan yang selalu mengeluh, menjadi seonggok daging berjalan yang sangat jarang bersyukur. 
Tulisan itu telah mencerca batin terdalam ini, tulisan itu mengalahkan ego yang terbentuk dalam logikaku. Aku benar-benar menyesal menjadi seorang pengeluh!

Seakan semua usai tapi tak benar-benar usai.
------
Sahabat, semoga jiwamu yang tegar dan senyummu yang senantiasa terlontar selalu mewarnai kehidupanmu dimasa mendatang. Aku hanya mampu berdoa serta bermain kata, dan semoga kau tak enggan menerima permainan kataku buatmu  :

Kawan, hidup kadang memang penuh perubahan
Namun tidak berlaku pada senyummu
Kawan, perjalanan kedepan semakin kelam!
Ah, itu tak berarti bagi ketegaran jiwamu

Kawanku, seperti yang pernah kubilang, ada kalanya kita menangis
Atau bahkan merengek menuntut apa yang kita idamkan
Tak peduli jenjang pendidikan maupun usia
Karena tangisan adalah bentuk paling jujur dari sebuah perasaan

Kawan, jangan enggan tuk selalu membagi ceritamu
Atau sekedar mengajak habiskan malam dengan secangkir kopi
Karena darimu, aku akan dan semoga selamanya menjadi tahu
Tentang kebahagiaan, penderitaan, perjuangan serta bagaimana cara bersyukur

Sekali lagi, jangan sungkan bahkan enggan tuk membagi denganku
Cerita kita akan jadi rekaman semesta yang agung

-Senja-
Mari Ikuti Jeda

4 komentar:

  1. Tulisan yang luar biasa dengan diksi yang hebat! Tapi ada beberapa kosakata yang kurang efektif, mohon dikoreksi lagi hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih kritiknya bro. Sangat membangun. Hehe :D semoga di tulisan selanjutnya bisa terperbaiki.

      Hapus
  2. Itu barb tidak pulang kampung selama 6 tahun atau 6 bulan ya, bang?

    BalasHapus