12 Mar 2016

Dan Duapuluh-pun #1

"Semua tentang sebuah konklusi" Teriak Senja kepada angin sore, ia semakin frustasi dengan deretan imbuhan kata dari Air yang tak mampu ia terka. Frustasinya menjadi-jadi karena ia ditimpa aral melintang itu dihari istimewanya, hari dimana ia genap berusia duapuluh tahun. Mungkin benar kata Marui, teman Senja yang selalu memberi petuah tentang kehidupan dan keniscayaan. "Kita tak akan pernah benar-benar mengerti satu demi satu perasaan makhluk sempurna, ciptaan Sang Pencengkeram Semesta. Manusia apalagi, kita makhluk yang sangat kompleks dengan akal budi dan perasaan", kalimat itu cukup berat untuk seonggok daging yang cuma menghalal-kan nafsu. 

Sedikit demi sedikit Senja mencoba memahami inti dari petuah tersebut, namun sayang, ia makin bingung hingga mengutuk segala kemungkinan. Sungguh bodoh seorang Senja.

Kekasihnya, Air, terpaku dalam perasaan kalut yang disebabkan Senja. Ya, Senja telah membuatnya kecewa. Mungkin sekarang Air mengibaratkan Senja bagaikan senja sebenarnya, dalam artian harfiah. Yaitu senja yang surup nestapa tertutup mendung. Abu-abu. Pekat dan gulita. Bagaimana tidak? Senja melakukan hal bodoh! Sangat bodoh untuk ukuran makhluk sempurna berperasaan. Senja telah berkhianat diluar kesadarannya, ia telah mengawinkan tangannya dengan tangan seorang perempuan lain yang diabadikan dalam sebuah teknologi lukis cahaya, terang saja hal ini membuat Air kecewa berat. Siapapun yang melihatnya pasti akan berpikiran sama yaitu 'terdapat pengkhianatan antar sepasang perasaan'.

_________________________________________________________________________________

Senja masih saja berputar-putar, bertanya kesana kemari tanpa menyadari apa yang telah ia perbuat. Ia menyapa, lalu bertanya, sesekali berteriak "Demi masa! apa salah hamba?" Namun jelas saja beribu insan yang ia dapati tak mampu menjawabnya, karena mereka juga bukan bagian dari sepasang perasaan yang telah diciptakan Air dan Senja sendiri.

Hari-pun berganti, Senja dan Air masih saja dalam kemelut masalah. Kebingungan disatu pihak dan kekecewaan berkepanjangan dipihak yang lain. Namun hari itu adalah hari yang tepat untuk sebuah konklusi, ya! itu harinya Senja! Hari bagi pemuja logika dan penikmat retorika! Hari bersahaja bagi pengagung omong kosong tepatnya. Seorang teman telah menyadari kejanggalan yang dirasakan Air, sebut saja ia Fortuna.

Fortuna secara cablak dan blak-blakan mengomentari seni lukis cahaya yang terabadikan tersebut, "Bagaimana bisa Senja berkawin tangan dengan wanita lain sedangkan ia memiliki kekasih yang tiada pernah cacat hati?"

Seketika sadarlah Senja yang sedang menyeruput kopi khas giras kesayangannya. Selantun lagu dari Silampukau yang diputar mas-mas penjaga giras merebak ditengah hangatnya kopi, hal itu makin menyadarkan meskipun hanya pada bait kedua liriknya.



Kau putar sekali lagi Champs-Elysees. Lidah kita bertaut a la Francais. Langit sungguh jingga itu sore, dan kau masih milikku. Kita tak pernah suka air mata. Berangkatlah sendiri ke Juanda. Tiap kali langit meremang jingga, aku ‘kan merindukanmu. Ah, kau Puan Kelana, mengapa musti ke sana? Jauh-jauh Puan kembara, sedang dunia punya luka yang sama. Mari, Puan Kelana, jangan tinggalkan hamba. Toh, hujan sama menakjubkannya, di Paris atau di tiap sudut Surabaya. Rene Descartes, Moliere, dan Maupassant. Kau penuhi kepalaku yang kosong; dan Perancis membuat kita sombong, saat kau masih milikku. Kita tetap membenci air mata. Tiada kabar tiada berita. Meski senja tak selalu tampak jingga, aku terus merindukanmu. Ah, kau Puan Kelana, mengapa musti ke sana? Jauh-jauh Puan kembara, sedang dunia punya luka yang sama. Mari, Puan Kelana, jangan tinggalkan hamba. Toh, anggur sama memabukkannya, entah Merlot entah Cap Orang Tua . Aih, Puan Kelana, mengapa musti ke sana? Paris pun penuh mara bahaya dan duka nestapa, seperti Surabaya.

Lagu ini sedikitpun tidak akan pernah nyambung bagi setiap orang yang memiliki masalah sama. Namun bagi Senja, sang penikmat retorika yang baru saya menemukan kembali arti sepasang perasaan, hal ini menjadi titik balik dalam menyikapi problema hubungannya.

_________________________________________________________________________________

Apa yang terjadi selanjutnya? tunggu "Dan Duapuluh-pun" part 2
Dari: Surabaya, Surabaya City, East Java, Indonesia

0 komentar:

Posting Komentar