14 Jan 2016

Sepasang Mata Yang Menenangkan

Hari ini aku benar-benar mengalami sebuah tuntutan candu akan inginnya berinteraksi dengan manusia lain, entah itu hanya berkumpul dan berbincang tentang suatu hal, atau hanya menerima ajakan ngopi dari seorang teman. Namun ternyata nihil, tiada satupun teman yang menghubungiku untuk sekedar bertemu. Hal ini membuatku cukup bosan, hingga setengah hariku berlalu hanya luntang-lantung, dan scrolling timeline sosmed didalam kost yang berukuran 2x3 meter. Ya, aku memang penikmat kesendirian, tapi kesepian perlahan membunuh batinku. Tak bisa dipungkiri bahwa manusia memang pada hakikatnya adalah makhluk sosial.

Sekitar pukul 12.35 seorang teman mengirimiku sebuah pesan, bahwa dirinya sedang berada di kampus. Aku tahu pasti bahwa makna implisit dari pesannya, yaitu ia sedang menyuruhku untuk datang ke kampus juga, dan sekedar menemaninya berbincang. Syukurlah masih ada ajakan tuk bersosial, hahaha. Akhirnya aku segera bergegas untuk mandi dan segera menemuinya di kampus.

Perjalananku ke kampus hanya berlalu seperti biasa, dengan lalu lintas Surabaya yang padat seperti hari-hari biasanya. Bumbu-bumbu perjalanan seperti kebisigan klakson dan asap kendaraan sudah menjadi teman sehari-hari dalam berkendara di kota ini, apalagi aku adalah pengendara motor. Asap adalah oksigen untuk paru-paru, dan kebisingan klakson menjadi musik kontemporer bagi sepasang telinga. Perpaduan yang terlalu dipaksakan jikalau harus dibilang indah.

Setelah 7 menit perjalanan dari kost, akhirnya aku tiba di kampus oranye tercinta, FISIP. Setapak demi setapak aku melangkah dari parkiran motor menghampiri temanku, namun sayangnya kami hanya sempat berbincang sejenak sebelum ia memulai rapat dengan salah satu kepanitiaan untuk acara HUT jurusan. Ah, sekali lagi ini cukup membosankan. Tak berpikir lama, akhirnya kuputuskan untuk menuju kantin, karena tiba-tiba datang utusan fisiologis dari si lambung yang belum terisi apa-apa dari pagi.

Kupesan seporsi Fuyunghay dengan saus plus plus karena ini memang menu favoritku di kantin FISIP. Aku makan dengan cepat tanpa mempedulikan bagaimana tanggapan orang lain dengan cara makanku yang sedikit brutal seperti babi. Ya, babi.. kasar banget ya. (ini efek lapar banget)

Sesudah makan dengan kenyang, aku menyempatkan diri untuk sejenak bercengkerama bersama kakak-kakak tingkatku yang sedang menyusun yudisium. Mereka tampak antusias akan hal itu, sehingga aku jadi berpikir bagaimana perkuliahanku kedepannya nanti. Apakah akan sebahagia wajah kakak-kakak tingkatku saat menyusun yudisium, atau aku akan mengalami stres hingga putus kuliah. Ah, mungkin aku terlampau takut hingga berpikir aneh-aneh, tapi pikiran pesimis ini juga sudah menjadi rekanku dalam tiap pengambilan kebijakan untuk diriku sendiri selama ini.

Aku beranjak pulang setelah pencengkramaan selesai, dengan berbekal perasaan yang kalut entah mengapa. Aku seakan tertegun mendengar tentang bagaimana kehidupan perkuliahan kakak-kakak tingkatku di semester tua. Aku semakin takut, aku takut tidak bisa membahagiakan orangtua ku, dan tak bisa menjaga komitmen yang telah aku buat sendiri dengan memilih jurusan ini. "Ah, sudahlah!" pikirku. Akupun bergegas menghidupkan mesin motor dan mengendarai motorku tuk kembali ke kost-an. Namun, ada sesuatu yang sangat berharga yang kutemui di jalanku pulang.

Lampu merah telah menyodorkan pada mata ini sebuah peristiwa sederhana yang cukup membuatku terkesima. Aku melihat sesosok nenek tua kurus kering penjual koran keliling. Dengan semangat ia menjajakan koran dagangannya dari mobil ke mobil, motor ke motor. Ia mengenakan sebuah topi trucker berwarna pink untuk menghalau panasnya cuaca Surabaya. 

Ia bekerja dengan tulus, aku yakin itu, senyuman renyah pada calon pembeli dan sorot matanya tak bisa berbohong akan hal itu.

Aku penasaran dengan nenek tua itu, aku hanya sekedar penasaran dengan apa yang telah aku simpulkan. Apakah benar kesimpulan yang aku buat? Pertanyaan pun muncul dalam benakku "Apakah ia hanya tersenyum ketika menjajakan dagangannya? Ataukah ia memang seorang yang mempunyai jiwa ikhlas dalam menebar senyumnya?". Hal ini  lantas menghantarkanku untuk berhenti sejenak dipinggir jalan setelah lampu merah berganti lampu hijau. Kuamati nenek-nenek penjual koran tersebut. Kulihat ia beranjak ke pinggiran jalan setelah menjajakan korannya. Ia berjalan melewati beberapa tukang becak yang memang biasa mangkal didekat lampu merah, dan ternyata ketika ia melewati para tukang becak tersebut, dengan ikhlasnya ia menyapa dan menyimpulkan bibirnya hingga membentuk sebuah lengkungan. Ya, lengkungan berbentuk bulan sabit yang biasa kusebut dengan 'senyuman'. Secara tak sadar, aku pun ikut tersenyum melihat hal itu, terjawablah apa yang telah mengusik benakku tadi.

Senyuman si nenek penjual koran itu memberikanku sebuah konklusi pada salah satu problema kehidupan ini. Yaitu, ia mengajarkanku untuk tidak takut dengan apa yang akan ia hadapi kedepannya. Ia mampu memberikan impact yang besar bagiku hanya dari pesan non-verbal-nya. Senyuman ikhlas dan sorot mata yang tajam, pertanda betapa yakinnya ia akan indahnya kehidupan  mendatang. Semoga kau selalu sehat dan bisa terus mencari nafkah ya nek!

Ilustrasi foto : indofotografi.com
Dari: Jl. Dharmawangsa, Jawa Timur, Indonesia

2 komentar: