“Matahari telah gagal tenggelam di Kota Surabaya, dan mungkin saja itu karena ulah warga-nya sendiri!”
Jam dinding bertuliskan Rolex yang terpajang di Warkop Sedulur Tunggal Kopi Jalan Dharmawangsa, sudah menunjukkan pukul 11 malam. Semestinya, matahari telah tenggelam 6 jam yang lalu, tapi pada kenyataannya, tanggal 24 Desember 2024, malam tidak menunjukkan batang hidungnya di Kota Surabaya!
Nampaknya hal ini tidak hanya dialami di Kota Surabaya, namun juga dialami di Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Gresik, dan sebagian wilayah Kabupaten Pasuruan dan Mojokerto. Fenomena ini membuat masyarakat menjadi geger gedhen. Semua lapisan masyarakat takjub dan panik atas fenomena tersebut. Tak terkecuali Mat Rono, seorang pria 28 tahun asli Bangkalan, Madura yang sedang asyik ngopi di Warkop STK Dharmawangsa. Namun, ketakjuban Mat Rono lebih ke arah yang absurd. Ia merasa bersyukur sekaligus bingung menanggapi fenomena yang baru dialaminya selama ia hidup dan merantau 8 tahun di Surabaya.
Masjid-masjid di sekitar Gubeng Airlangga dan Gubeng Kertajaya sudah ramai dikerumuni oleh jamaah yang mengadakan pengajian dadakan, bahkan mereka sudah berkumpul dari pukul 7 malam selepas salat Isya. Tujuan mereka satu, doa bersama supaya menjadi sekumpulan manusia yang selamat dari hari akhir. Suara tangis dan doa pecah bersahutan di seluruh penjuru gang yang penuh kos putri tersebut. Para bapak mencoba menenangkan istri dan anaknya, sedangkan para ibu saling beradu teriakan. Sesekali dapat terdengar ucapan Allahu Akbar memekakkan telinga.
Jalanan telah dipenuhi oleh para pemuda klub motor, yang cenderung menanggapi fenomena tersebut sebagai ajang berkerumun. Jalan Kertajaya Raya hingga Jalan Sulawesi dipenuhi oleh berbagai komunitas motor, seperti komunitas Honda CB, komunitas motor 2 tak, komunitas Suzuki Satria, dan masih banyak yang lainnya. Berbanding terbalik dengan kejadian di sekitaran jalan Dharmawangsa, di area tersebut malah diwarnai dengan kecot antar komunitas. Uniknya, meskipun saling kecot, tak ada satupun dari mereka yang benar-benar adu bogem di jalanan. Kumpulan tersebut seperti ada dalam kondisi pasrah dengan apapun yang terjadi kedepannya. Mereka paham bahwasanya bisa saja, beberapa menit lagi kiamat datang. Namun dasarnya mereka adalah orang-orang yang sangat menikmati hidup, maka mereka tak segan untuk berkerumun dengan kawan-kawannya meskipun nyawa sedang dipertaruhkan. “Ah lek mati yo uwes, kan gak dewean” ujar salah satu dari mereka.
Melihat banyaknya komunitas motor yang berkumpul sepanjang Jalan Kertajaya dan Jalan Sulawesi, membuat para penjaja makanan dan minuman tak melewatkan kesempatan tersebut. Mereka seakan diberikan tambahan rejeki oleh yang maha kuasa. Penjaja kacang rebus, jagung bakar, kopi susu keliling, hingga penjaja kanebo menghiasi seluruh penjuru jalanan. Para pedagang asongan ini menangapi fenomena matahari yang tak tenggelam dengan sangat positif, mereka yakin bahwasanya kiamat tidak akan datang selama rumah- rumah ibadah masih dipenuhi oleh orang alim, meskipun mereka sendiri jarang - jarang mengunjungi rumah ibadah dikarenakan sedang kejar target harian. Bagaimana tidak mau kejar target? Tahun depan semua barang naik karena PPN 12% pikir mereka.
Pemerintah daerah dan pusat tampak panik. Mereka yang dari orok tidak pernah percaya dengan peneliti atau ilmuwan, secara tiba-tiba mengumpulkan ilmuwan-ilmuwan hebat di seluruh penjuru Nusantara, benar-benar dari Sabang, sampai perbatasan Indonesia dan Papua Barat. Mereka semua dikumpulkan dan ditanyai pendapat mengenai fenomena ini, beberapa dari ilmuwan tersebut menyebutnya sebagai Midnight Sun, seperti yang terjadi di sebagian wilayah Norwegia tiap tahunnya di bulan Mei - Juli. Namun yang terjadi di Norwegia cukup masuk akal, karena wilayah mereka dekat dengan area kutub. Spekulasi juga bermunculan dari para ilmuwan, “jangan-jangan ada fenomena bergesernya kutub ke arah Kota Surabaya? Tapi apa yang menjadi pemicunya? Kalaupun pindah kemari, mengapa Kota Surabaya masih panas kentang-kentang alih-alih berlumuran bunga salju?”
—-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
“Sial!” seloroh seorang mahasiswa rantau. Ia tak menduga bahwa fenomena matahari yang bersinar sepanjang hari, sudah memasuki hari ke-40. Ia menggerutu karena kamar indekos yang ia sewa tidak terdapat fasilitas AC, maklum saja, harganya cuma 750 ribu per bulan, di area Gubeng pula. Matahari yang tak kunjung tenggelam ini membuat hawa di Surabaya jadi banyak panasnya, kecuali ketika hujan datang. Ia jadi makin sering mondar-mandir ke minimarket yang ber-AC karena feenomena ini.
Sebulan lebih matahari tidak tenggelam di Surabaya, masyarakat kelas atas atau yang biasa disebut Crazy Rich Surabaya sudah berbondong-bondong pindah ke Malang dan sekitarnya supaya ritme sirkadian mereka tidak terganggu. Pikir mereka riwa-riwi via tol Surabaya-Pandaan tidaklah mahal, wong penghasilan mereka sehari bisa ratusan juta dari gurita-gurita bisnisnya. Lain ladang, lain belalang, fenomena ini membuat beberapa kampung di Surabaya, terpaksa membuat kanopi-kanopi yang menutupi seluruh area pemukiman. Malahan, hal ini dijadikan lomba antar RT, dan tentu saja Kecamatan yang paling semangat dalam perlombaan kanopi ter-istimewa adalah Kecamatan Tambaksari. Warga Tambaksari memang terkenal dengan jiwa kompetitif dan yang pasti tidak mau ngalah.
Skena musik di Surabaya tidak kalah anehnya menanggapi fenomena ini. Beberapa minggu terakhir, mereka rutin mengadakan rave party sepanjang hari. Mulai pukul 10.00 hingga 05.00, mereka berpesta seakan tiada hari esok, sialnya, memang kesannya seperti tiada keesokan hari. Di sisi lain, skena musik underground juga tidak mau kalah, area Monumen Kapal Selam tidak pernah sepi bahkan hampir tiap hari. Hal tersebut dikarenakan tiap dua hari sekali selalu ada saja kolektif-kolektif kecil yang mengadakan gigs sederhana, yang bahkan line-up band-nya diisi oleh band yang baru berdiri selama 7 hari, sebut saja seperti Midnight Sun Attack yang ber-genre Neo-Skramz. Mereka semua berpikir bahwa esok hari telah tiada, maka pertunjukan musik adalah perlawanan kecil terhadap semesta yang tak lagi berpihak pada mereka.
Pada hari ke-40, rumah-rumah ibadah, ternyata telah kembali normal. Tiada lagi tangisan dan doa yang bersahutan, tiada lagi anak-anak kecil yang terlihat bingung melihat ibunya sesenggukan di pelataran Masjid. Komunitas motor yang sering berkerumun di Jalan Kertajaya dan Jalan Sulawesi juga perlahan menghilang. Kondisi seakan kembali normal seperti sedia kala. Mungkin yang paling kontras adalah satu hal, yaitu kemunculan kultus-kultus baru yang menjadikan matahari sebagai objek untuk disembah. Rata-rata kultus tersebut mengadopsi gaya ritual Kejawen, namun dibumbui dengan sedikit ritual dari Suku Inca yang lebih senior dalam hal menjadikan matahari sebagai objek sesembahan.
Mat Rono juga mulai terbiasa dengan kondisi new normal tersebut. Ia yang awalnya bekerja di sebuah agensi kreatif yang hampir bangkrut, berpindah profesi menjadi penjaja penutup mata premium. Tak ragu, Mat Rono menyewa sebuah bedhag di Jalan Djarmawangsa, bekas toko vape yang dulu pernah ramai. Sudah 3 minggu ia menjalani usaha tersebut, dan Mat Rono adalah pelopor penjual penutup mata premium di Surabaya. Banyak pedagang yang ikut-ikutan, namun tokonya tak se-ramai dan se-viral toko milik Mat Rono. Mungkin karena barang dagangannya terbukti dapat memberikan kesan ‘malam hari’ yang otentik, atau Mat Rono sekadar mendapatkan sedikit belas kasih Dewi Fortuna saja. “Balik kampung bisa kaya raya nih!” Pikir Mat Rono.
Memasuki hari ke-45, tiba-tiba ‘keanehan’ terjadi. Matahari menunjukkan pergerakan seperti semula, yaitu mengarah ke barat dan siap untuk jatuh tertelan bumi. Sontak masyarakat yang sudah akrab dengan matahari sepanjang hari, merasa cemas akan kejadian ini. Mereka yang sudah terbiasa dengan matahari sepanjang waktu merasa tidak siap dengan kondisi tersebut. Ada yang merasa ketakutan bahwasanya matahari tidak akan pernah mampir lagi ke Surabaya, ada pula yang merasa ditinggalkan oleh objek yang mereka dewa-kan. Seluruh media massa di penjuru negeri mengabarkan berita ini dengan ekspresi penuh kepedihan, seakan mereka lupa bahwa di-awal fenomena tersebut terjadi, semua ketakutan karena memprediksi kiamat akan segera datang. Aneh memang, manusia diciptakan dengan struktur berpikir yang plin-plan, namun justru berkat pemikiran seperti itu pula, manusia tidak punah hingga saat ini.
Mat Rono kesal, ia segera menutup toko-nya yang sudah ia sewa selama 6 bulan penuh, cash keras pula. Mat Rono mondar-mandir di gang-gang Gubeng Airlangga hingga Gubeng Kertajaya dengan perasaan kalut. Ia uring-uringan karena baru kemarin pula, ia kulak 100 lusin penutup mata premium. Ia bingung harus diapakan barang-barang tersebut nantinya. Kekesalannya makin menjadi-jadi ketika ia sampai di dekat area Viaduct Gubeng.
Ternyata disana sedang dihelat konser dadakan yang mengundang artis lokal. Bagaimana Mat Rono tak kesal? Wong lagu yang sedang dibawakan berjudul “Malam Jatuh di Surabaya”, dibawakan langsung oleh Silampukau pula! “Oalah Jiancuk! Temancok jheren!” Umpatnya keras-keras.
Gelanggang ganas 5:15
Di Ahmad Yani yang beringas
Sinar kuning merkuri Pendar celaka akhir hari Malam jatuh di Surabaya
Magrib mengambang lirih dan terabaikan Tuhan kalah di riuh jalan
Orkes jahanam mesin dan umpatan Malam jatuh di Surabaya
Selama-lamanya Di gelanggang yang sama Malam jatuh di Surabaya
Silampukau - Malam Jatuh di Surabaya
TAMAT
0 komentar:
Posting Komentar