23 Des 2024

Malam Tidak Pernah Jatuh di Surabaya

 


“Matahari telah gagal tenggelam di Kota Surabaya, dan mungkin saja itu karena ulah warga-nya sendiri!”

Jam dinding bertuliskan Rolex yang terpajang di Warkop Sedulur Tunggal Kopi Jalan Dharmawangsa, sudah menunjukkan pukul 11 malam. Semestinya, matahari telah tenggelam 6 jam yang lalu, tapi pada kenyataannya, tanggal 24 Desember 2024, malam tidak menunjukkan batang hidungnya di Kota Surabaya!

Nampaknya hal ini tidak hanya dialami di Kota Surabaya, namun juga dialami di Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Gresik, dan sebagian wilayah Kabupaten Pasuruan dan Mojokerto. Fenomena ini membuat masyarakat menjadi geger gedhen. Semua lapisan masyarakat takjub dan panik atas fenomena tersebut. Tak terkecuali Mat Rono, seorang pria 28 tahun asli Bangkalan, Madura yang sedang asyik ngopi di Warkop STK Dharmawangsa. Namun, ketakjuban Mat Rono lebih ke arah yang absurd. Ia merasa bersyukur sekaligus bingung menanggapi fenomena yang baru dialaminya selama ia hidup dan merantau 8 tahun di Surabaya.

Masjid-masjid di sekitar Gubeng Airlangga dan Gubeng Kertajaya sudah ramai dikerumuni oleh jamaah yang mengadakan pengajian dadakan, bahkan mereka sudah berkumpul dari pukul 7 malam selepas salat Isya. Tujuan mereka satu, doa bersama supaya menjadi sekumpulan manusia yang selamat dari hari akhir. Suara tangis dan doa pecah bersahutan di seluruh penjuru gang yang penuh kos putri tersebut. Para bapak mencoba menenangkan istri dan anaknya, sedangkan para ibu saling beradu teriakan. Sesekali dapat terdengar ucapan Allahu Akbar memekakkan telinga.

Jalanan telah dipenuhi oleh para pemuda klub motor, yang cenderung menanggapi fenomena tersebut sebagai ajang berkerumun. Jalan Kertajaya Raya hingga Jalan Sulawesi dipenuhi oleh berbagai  komunitas motor, seperti komunitas Honda CB, komunitas motor 2 tak, komunitas Suzuki Satria, dan masih banyak yang lainnya. Berbanding terbalik dengan kejadian di sekitaran jalan Dharmawangsa, di area tersebut malah diwarnai dengan kecot antar komunitas. Uniknya, meskipun saling kecot, tak ada satupun dari mereka yang benar-benar adu bogem di jalanan. Kumpulan tersebut seperti ada dalam kondisi pasrah dengan apapun yang terjadi kedepannya. Mereka paham bahwasanya bisa saja, beberapa menit lagi kiamat datang. Namun dasarnya mereka adalah orang-orang yang sangat menikmati hidup, maka mereka tak segan untuk berkerumun dengan kawan-kawannya meskipun nyawa sedang dipertaruhkan. “Ah lek mati yo uwes, kan gak dewean” ujar salah satu dari mereka.

Melihat banyaknya komunitas motor yang berkumpul sepanjang Jalan Kertajaya dan Jalan Sulawesi, membuat para penjaja makanan dan minuman tak melewatkan kesempatan tersebut. Mereka seakan diberikan tambahan rejeki oleh yang maha kuasa. Penjaja kacang rebus, jagung bakar, kopi susu keliling, hingga penjaja kanebo menghiasi seluruh penjuru jalanan. Para pedagang asongan ini menangapi fenomena matahari yang tak tenggelam dengan sangat positif, mereka yakin bahwasanya kiamat tidak akan datang selama rumah- rumah ibadah masih dipenuhi oleh orang alim, meskipun mereka sendiri jarang - jarang mengunjungi rumah ibadah dikarenakan sedang kejar target harian. Bagaimana tidak mau kejar target? Tahun depan semua barang naik karena PPN 12% pikir mereka.

Pemerintah daerah dan pusat tampak panik. Mereka yang dari orok tidak pernah percaya dengan peneliti atau ilmuwan, secara tiba-tiba mengumpulkan ilmuwan-ilmuwan hebat di seluruh penjuru Nusantara, benar-benar dari Sabang, sampai perbatasan Indonesia dan Papua Barat. Mereka semua dikumpulkan dan ditanyai pendapat mengenai fenomena ini, beberapa dari ilmuwan tersebut menyebutnya sebagai Midnight Sun, seperti yang terjadi di sebagian wilayah Norwegia tiap tahunnya di bulan Mei - Juli. Namun yang terjadi di Norwegia cukup masuk akal, karena wilayah mereka dekat dengan area kutub. Spekulasi juga bermunculan dari para ilmuwan, “jangan-jangan ada fenomena bergesernya kutub ke arah Kota Surabaya? Tapi apa yang menjadi pemicunya? Kalaupun pindah kemari, mengapa Kota Surabaya masih panas kentang-kentang alih-alih berlumuran bunga salju?”

—-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

“Sial!” seloroh seorang mahasiswa rantau. Ia tak menduga bahwa fenomena matahari yang bersinar sepanjang hari, sudah memasuki hari ke-40. Ia menggerutu karena kamar indekos yang ia sewa tidak terdapat fasilitas AC, maklum saja, harganya cuma 750 ribu per bulan, di area Gubeng pula. Matahari yang tak kunjung tenggelam ini membuat hawa di Surabaya jadi banyak panasnya, kecuali ketika hujan datang. Ia jadi makin sering mondar-mandir ke minimarket yang ber-AC karena feenomena ini.

Sebulan lebih matahari tidak tenggelam di Surabaya, masyarakat kelas atas atau yang biasa disebut Crazy Rich Surabaya sudah berbondong-bondong pindah ke Malang dan sekitarnya supaya ritme sirkadian mereka tidak terganggu. Pikir mereka riwa-riwi via tol Surabaya-Pandaan tidaklah mahal, wong penghasilan mereka sehari bisa ratusan juta dari gurita-gurita bisnisnya. Lain ladang, lain belalang, fenomena ini membuat beberapa kampung di Surabaya, terpaksa membuat kanopi-kanopi yang menutupi seluruh area pemukiman. Malahan, hal ini dijadikan lomba antar RT, dan tentu saja Kecamatan yang paling semangat dalam perlombaan kanopi ter-istimewa adalah Kecamatan Tambaksari. Warga Tambaksari memang terkenal dengan jiwa kompetitif dan yang pasti tidak mau ngalah.

Skena musik di Surabaya tidak kalah anehnya menanggapi fenomena ini. Beberapa minggu terakhir, mereka rutin mengadakan rave party sepanjang hari. Mulai pukul 10.00 hingga 05.00, mereka berpesta seakan tiada hari esok, sialnya, memang kesannya seperti tiada keesokan hari. Di sisi lain, skena musik underground juga tidak mau kalah, area Monumen Kapal Selam tidak pernah sepi bahkan hampir tiap hari. Hal tersebut dikarenakan tiap dua hari sekali selalu ada saja kolektif-kolektif kecil yang mengadakan gigs sederhana, yang bahkan line-up band-nya diisi oleh band yang baru berdiri selama 7 hari, sebut saja seperti Midnight Sun Attack yang ber-genre Neo-Skramz. Mereka semua berpikir bahwa esok hari telah tiada, maka pertunjukan musik adalah perlawanan kecil terhadap semesta yang tak lagi berpihak pada mereka.

Pada hari ke-40, rumah-rumah ibadah, ternyata telah kembali normal. Tiada lagi tangisan dan doa yang bersahutan, tiada lagi anak-anak kecil yang terlihat bingung melihat ibunya sesenggukan di pelataran Masjid. Komunitas motor yang sering berkerumun di Jalan Kertajaya dan Jalan Sulawesi juga perlahan menghilang. Kondisi seakan kembali normal seperti sedia kala. Mungkin yang paling kontras adalah satu hal, yaitu kemunculan kultus-kultus baru yang menjadikan matahari sebagai objek untuk disembah. Rata-rata kultus tersebut mengadopsi gaya ritual Kejawen, namun dibumbui dengan sedikit ritual dari Suku Inca yang lebih senior dalam hal menjadikan matahari sebagai objek sesembahan.

Mat Rono juga mulai terbiasa dengan kondisi new normal tersebut. Ia yang awalnya bekerja di sebuah agensi kreatif yang hampir bangkrut, berpindah profesi menjadi penjaja penutup mata premium. Tak ragu, Mat Rono menyewa sebuah bedhag di Jalan Djarmawangsa, bekas toko vape yang dulu pernah ramai. Sudah 3 minggu ia menjalani usaha tersebut, dan Mat Rono adalah pelopor penjual penutup mata premium di Surabaya. Banyak pedagang yang ikut-ikutan, namun tokonya tak se-ramai dan se-viral toko milik Mat Rono. Mungkin karena barang dagangannya terbukti dapat memberikan kesan ‘malam hari’ yang otentik, atau Mat Rono sekadar mendapatkan sedikit belas kasih Dewi Fortuna saja. “Balik kampung bisa kaya raya nih!” Pikir Mat Rono.

Memasuki hari ke-45, tiba-tiba ‘keanehan’ terjadi. Matahari menunjukkan pergerakan seperti semula, yaitu mengarah ke barat dan siap untuk jatuh tertelan bumi. Sontak masyarakat yang sudah akrab dengan matahari sepanjang hari, merasa cemas akan kejadian ini. Mereka yang sudah terbiasa dengan matahari sepanjang waktu merasa tidak siap dengan kondisi tersebut. Ada yang merasa ketakutan bahwasanya matahari tidak akan pernah mampir lagi ke Surabaya, ada pula yang merasa ditinggalkan oleh objek yang mereka dewa-kan. Seluruh media massa di penjuru negeri mengabarkan berita ini dengan ekspresi penuh kepedihan, seakan mereka lupa bahwa di-awal fenomena tersebut terjadi, semua ketakutan karena memprediksi kiamat akan segera datang. Aneh memang, manusia diciptakan dengan struktur berpikir yang plin-plan, namun justru berkat pemikiran seperti itu pula, manusia tidak punah hingga saat ini.

Mat Rono kesal, ia segera menutup toko-nya yang sudah ia sewa selama 6 bulan penuh, cash keras pula. Mat Rono mondar-mandir di gang-gang Gubeng Airlangga hingga Gubeng Kertajaya dengan perasaan kalut. Ia uring-uringan karena baru kemarin pula, ia kulak 100 lusin penutup mata premium. Ia bingung harus diapakan barang-barang tersebut nantinya. Kekesalannya makin menjadi-jadi ketika ia sampai di dekat area Viaduct Gubeng.

Ternyata disana sedang dihelat konser dadakan yang mengundang artis lokal. Bagaimana Mat Rono tak kesal? Wong lagu yang sedang dibawakan berjudul “Malam Jatuh di Surabaya”, dibawakan langsung oleh Silampukau pula! “Oalah Jiancuk! Temancok jheren!” Umpatnya keras-keras.


Gelanggang ganas 5:15 

Di Ahmad Yani yang beringas

Sinar kuning merkuri Pendar celaka akhir hari Malam jatuh di Surabaya

Magrib mengambang lirih dan terabaikan Tuhan kalah di riuh jalan

Orkes jahanam mesin dan umpatan Malam jatuh di Surabaya

Selama-lamanya Di gelanggang yang sama Malam jatuh di Surabaya


Silampukau - Malam Jatuh di Surabaya


TAMAT


continue reading Malam Tidak Pernah Jatuh di Surabaya

13 Sep 2024

Bunuh Diri 5 September yang Aneh

Bunuh Diri 5 September yang Aneh

“Apabila malam 5 september kemarin keadaan cuaca tidak terlalu menusuk tulang, mungkin sekarang ia masih sempat menghela napas serta sempat meminta pertolongan”.


Kamis malam Jumat tanggal 5 September, aku bergegas menjemput pacarku untuk sekadar mengajaknya makan malam berdua. Aku sudah terngiang soal bagaimana nasi putih hangat, yang beradu dengan dengan bebek goreng penuh lumuran bumbu kuning khas Madura, luluh lantah didalam kecap mulutku. Malam itu cuaca Surabaya mengalami anomali, dingin, dan entah mengapa, pikirku menyantap bebek goreng khas Madura adalah pilihan yang sangat tepat. Motor Supra keluaran awal, yang masih berlabel “Astrea Supra” itu, bergegas ku keluarkan dari garasi kos untuk kupanaskan sebelum berangkat menjemput kekasihku. Setelah mesin cukup panas, ba’da maghrib aku memulai perjalanan untuk menemui kekasihku di kos-kosannya, maklum, kami sama-sama perantau dari kabupaten yang kurang tenar di daerah Jawa Timur, nge-kost adalah pilihan ekonomis yang mampu kami lakukan ditengah gempuran tidak-seimbangnya UMR dan beban kerja.


Setengah perjalanan kulalui dengan lancar, pikirku ini aneh, dimana biasanya, hari Kamis adalah hari dimana kota sebesar Surabaya akan mengalami kemacetan yang cukup padat. Namun disisi lain aku juga berpikir bahwa, ditengah kelancaran situasi jalanan ini, pasti bakal ada satu titik yang mampu membuat darahku mendidih saking macetnya. Sial! Mestinya aku tidak berpikir demikian, walhasil kemacetan panjang terjadi di daerah jembatan Kali Jagir yang menghubungkan Jalan Raya Nginden dan Jalan Panjang Jiwo. Macetnya sampai membuat beberapa pengendara melakukan manuver putar balik mencari jalan lain untuk sampai di tujuan masing-masing. Aku yang sudah kepalang mumet, merasa pasrah saja dan memilih untuk mengikuti arus kemacetan yang ada, disisi lain aku juga penasaran, tumben sekali daerah tersebut mengalami kemacetan lalu-lintas, “Ada apa ya?” pikirku.


Makin mendekat dengan jembatan, keadaan menjadi makin ramai, orang-orang dewasa berbondong-bondong menjulurkan kepalanya ke arah sungai, berbincang kecil samar-samar, serta mulai menyulut api kecil pada rokok tanpa filter yang sudah nangkring di mulut mereka. Sementara, anak-anak kecil juga beramai-ramai menghampiri kerumunan, tanpa intensi apapun, selain untuk dapat bertemu dengan kawan-kawannya yang juga mulai keluar dari rumah, karena melihat kerumunan. Para penjaja keliling tentu tak akan melewatkan kesempatan emas ini, mereka bergegas menghampiri kerumunan, menjajakan berbagai hal, mulai dari bakpao Chik Yen, kacang rebus, tauwa, dan masih banyak yang lainnya. Toko Madura di dekat jembatan Kali Jagir juga mendapatkan berkah dari keramaian yang terjadi, bapak-bapak perokok mulai mengerumuni toko tersebut untuk sekadar membeli rokok ketengan. Pikirku “Kok gak wegah yo wong-wong iki padahal lagi adem”.


Tak terasa aku sudah sampai tepat diatas Jembatan Kali Jagir, disana pula aku mulai melihat satu peleton tim SAR yang sudah siap turun dengan menggunakan perahu karetnya. Disitu benakku masih samar-samar, antara ada sesuatu yang tenggelam, bisa benda atau manusia, atau sedang ada acara perlombaan perahu naga. Pikirku begitu, toh masih dalam suasana 17 Agustus-an. Namun aku acuh saja, kutanggalkan sejenak rasa penasaranku demi bisa segera makan bebek goreng hangat bersama kekasihku. Tak lama kemudian aku terbebas dari kemacetan serta langsung memacu gas sampai mentok supaya segera sampai di lokasi.

—-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Bebek goreng langganan kami memang tiada tanding, lezatnya masih sama seperti ketika awal merantau di Surabaya sebagai mahasiswa di tahun 2015. Dagingnya sangat empuk dan lekoh. Setelah malahap habis hidangan, aku mulai bercerita bagaimana perjalananku sebelumnya mengalami kemacetan, aku jelaskan pula detil-detil hal yang terjadi, mulai dari bapak-bapak yang berkerumun, penjaja asongan, serta tim SAR yang bersiaga. Pacarku yang memang dasarnya suka penasaran, tergerak untuk mencari informasi lebih, mengenai kejadian tersebut, ia mulai membuka beberapa kanal media online untuk menemukan jawaban dari rasa penasarannya, lalu benar saja, tak sampai 10 menit, pacarku sudah menemukan salah satu beritanya. Sialnya, itu bukan berita mengenai lomba perahu naga dalam rangka Agustus-an, alh-alih, beritanya adalah soal seorang mahasiswa perantauan dari salah satu kabupaten di Jawa Timur yang nekat melakukan bunuh diri dengan cara menenggelamkan diri di Kali Jagir. Seketika ada perasaan aneh menerpa diriku, rasanya seperti menjadi seseorang yang paling tidak dapat berempati di seluruh semesta.


Rasa egois dari diriku yang ingin segera menemui kekasihku dan mengajaknya makan bebek goreng, mengalahkan rasa penasaranku untuk mencari informasi mengenai fenomena yang terjadi di depan mataku. Entah mengapa, aku merasa menyesal, seakan tidak berkontribusi seperti warga yang berkerumun di sekitar jembatan, menengadahkan kepala dan mencecarkan matanya, guna menemukan jasad korban bunuh diri tersebut. Pacarku masih meneruskan untuk mencari-cari informasi mengenai kejadian tersebut, mungkin karena kejadiannya tepat di area jalan lewatannya sehari-hari saat berangkat dan pulang kerja. Wajar saja ia penasaran dan merasa simpatik. Dalam perjalanan mengantarkan pacarku pulang, aku terdiam, berpikir keras mengenai persoalan apa yang sekiranya menimpa sang korban sehingga ia berpikir untuk mengakhiri hidupnya. Sia-sia sebetulnya, dengan minimnya informasi yang kudapat, aku tidak menemukan jawaban apa-apa. “Keadaan atau peristiwa seperti apa yang ia alami sampai ia memilih untuk bunuh diri ya?” gumamku dalam hati.

—--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Seperti biasa, aku pamit pulang setelah beberapa saat berbincang didepan kos kekasihku, namun kali ini berbeda, aku tak berpamitan untuk langsung pulang ke kos-kosan, namun aku berpamit untuk mengunjungi tempat kejadian perkara atau TKP bunuh diri, yaitu Jembatan Kali Jagir. Perasaanku memaksa untuk mendatangi area tersebut, terlepas apapun yang akan kulakukan disana, yang penting sampai dulu, pikirku. Ketika sampai di tepian sungai, aku masih melihat beberapa gerombol warga yang rajin memicingkan matanya ke tiap sudut sungai yang gelap, bahkan ranting-ranting pun tak terlewat mereka soroti dengan cahaya lampu senter. Aku yang hanya berbekal dompet dan ponsel, tak dapat berbuat banyak disana, namun kali ini aku memberanikan diri untuk berbincang dengan salah seorang pemuda di sebelahku yang kebetulan juga sedang melihat-lihat ke arah perginya aliran sungai. Perawakannya agak gempal, memakai kaos hitam dan celana agak gombrang, percis dengan gaya-gaya kekinian anak muda yang banyak berseliweran di media sosial.


“Kejadiane yaopo Mas?” tanyaku pada pemuda tersebut. Ia menjelaskan dengan singkat bahwasanya korban yang masih mahasiswa secara tiba-tiba meloncat dari sosoran jembatan dan langsung tercebur di sungai, namun, sebelum ia benar-benar tenggelam ke dasar sungai, korban sempat meminta pertolongan kepada siapapun yang mendengarnya. Sial, warga di sekitar tidak memiliki cukup nyali untuk menyelamatkannya, mungkin juga warga yang kebetulan melihat kejadian tersebut bukanlah orang yang bisa berenang. Sungguh nahas batinku. Aku membayangkan bagaimana air sungai yang memunculkan riak-riak kecil itu timbul, dikala korban sedang berusaha menyelamatkan diri. Aku yakin korban berpikir bahwa pilihan bunuh dirinya agak konyol dan menyakitkan, rasanya sesak ketika membayangkan kehabisan napas ditengah-tengah air sungai yang berusaha masuk memenuhi paru-paru. Apalagi cuaca sedang dingin.


Obrolan kami terputus dikala pemuda tersebut berpamitan kepadaku untuk pulang ke rumah, “mugo-mugo ae korban diampuni segala kesalahane yo Mas” tandasnya. Aku yang masih berada di tepi jembatan, sontak mendoakan yang terbaik untuk arwah korban, disisi lain, aku juga berdoa semoga jasadnya bisa segera ditemukan serta dapat dikebumikan dengan layak. Belum selesai perasaan frustasi campur aduk yang aku rasakan, perasaan lain malah datang menghampiriku. Kurasa, kematian korban bunuh diri tersebut, membawa banyak berkah bagi warga sekitar. Mulai dari pemilik Toko Madura, penjaja kacang rebus, jagung rebus, serta penjaja Tauwa yang dagangannya masih banyak, seketika ludes malam itu juga. Alhamdulillah pikirku. Anak-anak kecil juga tiba-tiba diperbolehkan keluar malam dan bercengkerama dengan teman-temannya di malam yang dingin itu, pasti asyik menurut mereka. Absurd, aku tidak tahu lagi ini adalah kejadian yang tragis atau keberkahan, yang bisa kuharapkan adalah, semoga dengan banyaknya manusia yang diuntungkan atas kejadian tersebut, mampu menjadi amal penghapus dosa untuk sang korban bunuh diri. Ya, jika memang akhirat itu ada.


“Ah, mungkin ini maksud dari analogi ‘As above so below’ yang tertera dalam Tablet Zamrud!” batinku. Apapun yang datang dari atas, juga berasal dari bawah, begitu pula sebaliknya, semua adalah ‘kesatuan’ yang saling memengaruhi. Lagi-lagi, dunia adalah tempat yang terlalu absurd untuk ditinggali, pikirku.


TAMAT



continue reading Bunuh Diri 5 September yang Aneh