13 Sep 2024

Bunuh Diri 5 September yang Aneh

Bunuh Diri 5 September yang Aneh

“Apabila malam 5 september kemarin keadaan cuaca tidak terlalu menusuk tulang, mungkin sekarang ia masih sempat menghela napas serta sempat meminta pertolongan”.


Kamis malam Jumat tanggal 5 September, aku bergegas menjemput pacarku untuk sekadar mengajaknya makan malam berdua. Aku sudah terngiang soal bagaimana nasi putih hangat, yang beradu dengan dengan bebek goreng penuh lumuran bumbu kuning khas Madura, luluh lantah didalam kecap mulutku. Malam itu cuaca Surabaya mengalami anomali, dingin, dan entah mengapa, pikirku menyantap bebek goreng khas Madura adalah pilihan yang sangat tepat. Motor Supra keluaran awal, yang masih berlabel “Astrea Supra” itu, bergegas ku keluarkan dari garasi kos untuk kupanaskan sebelum berangkat menjemput kekasihku. Setelah mesin cukup panas, ba’da maghrib aku memulai perjalanan untuk menemui kekasihku di kos-kosannya, maklum, kami sama-sama perantau dari kabupaten yang kurang tenar di daerah Jawa Timur, nge-kost adalah pilihan ekonomis yang mampu kami lakukan ditengah gempuran tidak-seimbangnya UMR dan beban kerja.


Setengah perjalanan kulalui dengan lancar, pikirku ini aneh, dimana biasanya, hari Kamis adalah hari dimana kota sebesar Surabaya akan mengalami kemacetan yang cukup padat. Namun disisi lain aku juga berpikir bahwa, ditengah kelancaran situasi jalanan ini, pasti bakal ada satu titik yang mampu membuat darahku mendidih saking macetnya. Sial! Mestinya aku tidak berpikir demikian, walhasil kemacetan panjang terjadi di daerah jembatan Kali Jagir yang menghubungkan Jalan Raya Nginden dan Jalan Panjang Jiwo. Macetnya sampai membuat beberapa pengendara melakukan manuver putar balik mencari jalan lain untuk sampai di tujuan masing-masing. Aku yang sudah kepalang mumet, merasa pasrah saja dan memilih untuk mengikuti arus kemacetan yang ada, disisi lain aku juga penasaran, tumben sekali daerah tersebut mengalami kemacetan lalu-lintas, “Ada apa ya?” pikirku.


Makin mendekat dengan jembatan, keadaan menjadi makin ramai, orang-orang dewasa berbondong-bondong menjulurkan kepalanya ke arah sungai, berbincang kecil samar-samar, serta mulai menyulut api kecil pada rokok tanpa filter yang sudah nangkring di mulut mereka. Sementara, anak-anak kecil juga beramai-ramai menghampiri kerumunan, tanpa intensi apapun, selain untuk dapat bertemu dengan kawan-kawannya yang juga mulai keluar dari rumah, karena melihat kerumunan. Para penjaja keliling tentu tak akan melewatkan kesempatan emas ini, mereka bergegas menghampiri kerumunan, menjajakan berbagai hal, mulai dari bakpao Chik Yen, kacang rebus, tauwa, dan masih banyak yang lainnya. Toko Madura di dekat jembatan Kali Jagir juga mendapatkan berkah dari keramaian yang terjadi, bapak-bapak perokok mulai mengerumuni toko tersebut untuk sekadar membeli rokok ketengan. Pikirku “Kok gak wegah yo wong-wong iki padahal lagi adem”.


Tak terasa aku sudah sampai tepat diatas Jembatan Kali Jagir, disana pula aku mulai melihat satu peleton tim SAR yang sudah siap turun dengan menggunakan perahu karetnya. Disitu benakku masih samar-samar, antara ada sesuatu yang tenggelam, bisa benda atau manusia, atau sedang ada acara perlombaan perahu naga. Pikirku begitu, toh masih dalam suasana 17 Agustus-an. Namun aku acuh saja, kutanggalkan sejenak rasa penasaranku demi bisa segera makan bebek goreng hangat bersama kekasihku. Tak lama kemudian aku terbebas dari kemacetan serta langsung memacu gas sampai mentok supaya segera sampai di lokasi.

—-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Bebek goreng langganan kami memang tiada tanding, lezatnya masih sama seperti ketika awal merantau di Surabaya sebagai mahasiswa di tahun 2015. Dagingnya sangat empuk dan lekoh. Setelah malahap habis hidangan, aku mulai bercerita bagaimana perjalananku sebelumnya mengalami kemacetan, aku jelaskan pula detil-detil hal yang terjadi, mulai dari bapak-bapak yang berkerumun, penjaja asongan, serta tim SAR yang bersiaga. Pacarku yang memang dasarnya suka penasaran, tergerak untuk mencari informasi lebih, mengenai kejadian tersebut, ia mulai membuka beberapa kanal media online untuk menemukan jawaban dari rasa penasarannya, lalu benar saja, tak sampai 10 menit, pacarku sudah menemukan salah satu beritanya. Sialnya, itu bukan berita mengenai lomba perahu naga dalam rangka Agustus-an, alh-alih, beritanya adalah soal seorang mahasiswa perantauan dari salah satu kabupaten di Jawa Timur yang nekat melakukan bunuh diri dengan cara menenggelamkan diri di Kali Jagir. Seketika ada perasaan aneh menerpa diriku, rasanya seperti menjadi seseorang yang paling tidak dapat berempati di seluruh semesta.


Rasa egois dari diriku yang ingin segera menemui kekasihku dan mengajaknya makan bebek goreng, mengalahkan rasa penasaranku untuk mencari informasi mengenai fenomena yang terjadi di depan mataku. Entah mengapa, aku merasa menyesal, seakan tidak berkontribusi seperti warga yang berkerumun di sekitar jembatan, menengadahkan kepala dan mencecarkan matanya, guna menemukan jasad korban bunuh diri tersebut. Pacarku masih meneruskan untuk mencari-cari informasi mengenai kejadian tersebut, mungkin karena kejadiannya tepat di area jalan lewatannya sehari-hari saat berangkat dan pulang kerja. Wajar saja ia penasaran dan merasa simpatik. Dalam perjalanan mengantarkan pacarku pulang, aku terdiam, berpikir keras mengenai persoalan apa yang sekiranya menimpa sang korban sehingga ia berpikir untuk mengakhiri hidupnya. Sia-sia sebetulnya, dengan minimnya informasi yang kudapat, aku tidak menemukan jawaban apa-apa. “Keadaan atau peristiwa seperti apa yang ia alami sampai ia memilih untuk bunuh diri ya?” gumamku dalam hati.

—--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Seperti biasa, aku pamit pulang setelah beberapa saat berbincang didepan kos kekasihku, namun kali ini berbeda, aku tak berpamitan untuk langsung pulang ke kos-kosan, namun aku berpamit untuk mengunjungi tempat kejadian perkara atau TKP bunuh diri, yaitu Jembatan Kali Jagir. Perasaanku memaksa untuk mendatangi area tersebut, terlepas apapun yang akan kulakukan disana, yang penting sampai dulu, pikirku. Ketika sampai di tepian sungai, aku masih melihat beberapa gerombol warga yang rajin memicingkan matanya ke tiap sudut sungai yang gelap, bahkan ranting-ranting pun tak terlewat mereka soroti dengan cahaya lampu senter. Aku yang hanya berbekal dompet dan ponsel, tak dapat berbuat banyak disana, namun kali ini aku memberanikan diri untuk berbincang dengan salah seorang pemuda di sebelahku yang kebetulan juga sedang melihat-lihat ke arah perginya aliran sungai. Perawakannya agak gempal, memakai kaos hitam dan celana agak gombrang, percis dengan gaya-gaya kekinian anak muda yang banyak berseliweran di media sosial.


“Kejadiane yaopo Mas?” tanyaku pada pemuda tersebut. Ia menjelaskan dengan singkat bahwasanya korban yang masih mahasiswa secara tiba-tiba meloncat dari sosoran jembatan dan langsung tercebur di sungai, namun, sebelum ia benar-benar tenggelam ke dasar sungai, korban sempat meminta pertolongan kepada siapapun yang mendengarnya. Sial, warga di sekitar tidak memiliki cukup nyali untuk menyelamatkannya, mungkin juga warga yang kebetulan melihat kejadian tersebut bukanlah orang yang bisa berenang. Sungguh nahas batinku. Aku membayangkan bagaimana air sungai yang memunculkan riak-riak kecil itu timbul, dikala korban sedang berusaha menyelamatkan diri. Aku yakin korban berpikir bahwa pilihan bunuh dirinya agak konyol dan menyakitkan, rasanya sesak ketika membayangkan kehabisan napas ditengah-tengah air sungai yang berusaha masuk memenuhi paru-paru. Apalagi cuaca sedang dingin.


Obrolan kami terputus dikala pemuda tersebut berpamitan kepadaku untuk pulang ke rumah, “mugo-mugo ae korban diampuni segala kesalahane yo Mas” tandasnya. Aku yang masih berada di tepi jembatan, sontak mendoakan yang terbaik untuk arwah korban, disisi lain, aku juga berdoa semoga jasadnya bisa segera ditemukan serta dapat dikebumikan dengan layak. Belum selesai perasaan frustasi campur aduk yang aku rasakan, perasaan lain malah datang menghampiriku. Kurasa, kematian korban bunuh diri tersebut, membawa banyak berkah bagi warga sekitar. Mulai dari pemilik Toko Madura, penjaja kacang rebus, jagung rebus, serta penjaja Tauwa yang dagangannya masih banyak, seketika ludes malam itu juga. Alhamdulillah pikirku. Anak-anak kecil juga tiba-tiba diperbolehkan keluar malam dan bercengkerama dengan teman-temannya di malam yang dingin itu, pasti asyik menurut mereka. Absurd, aku tidak tahu lagi ini adalah kejadian yang tragis atau keberkahan, yang bisa kuharapkan adalah, semoga dengan banyaknya manusia yang diuntungkan atas kejadian tersebut, mampu menjadi amal penghapus dosa untuk sang korban bunuh diri. Ya, jika memang akhirat itu ada.


“Ah, mungkin ini maksud dari analogi ‘As above so below’ yang tertera dalam Tablet Zamrud!” batinku. Apapun yang datang dari atas, juga berasal dari bawah, begitu pula sebaliknya, semua adalah ‘kesatuan’ yang saling memengaruhi. Lagi-lagi, dunia adalah tempat yang terlalu absurd untuk ditinggali, pikirku.


TAMAT



0 komentar:

Posting Komentar