Ia nampak seperti orang tak berpunya, terlihat dari sepasang sendal lusuh yang ia pakai, juga baju yang warnanya telah memudar. Sekilas kuibaratkan ia seperti pemulung yang biasa memungut sampah disekitar kompleks rumahku. Namun aku yakin betul dari matanya yang sayu, ia banyak menyimpan cerita selama kehidupannya. Sama seperti yang lain, ia menyimpan cerita tentang perjalanan, perjuangan, pengorbanan, ah entah apa lagi, aku hanya menerka-nerka.
Pagi itu kuberanikan diri menyapa lelaki itu, berusaha sok kenal dan bersikap hangat, walaupun aku sedang dilanda canggung berat.
Ia sedang duduk di gardu pos ronda saat kuberanikan berkata "hai" padanya. Ia segera menatapku dan berdiri menuju hadapanku, hingga tanpa kusadari ia sontak berkata "duduklah! akan kuceritakan semua padamu!". Tanpa banyak berpikir panjang akupun menuruti apa yang ia perintahkan, dan disaat itulah cerita paling spektakuler yang belum pernah aku dengar ia ceritakan kepadaku.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Aku adalah seonggok sampah, yang tercipta dari banyaknya tumpukan kotoran di penjagalan tuanku, ya, tumpukan kotoran. Aku masih ingat betul, ketika aku tiba-tiba muncul dari banyaknya cairan kental yang berwarna-warni itu. Baunya sangat tidak sedap, mungkin bisa kusamakan dengan bau telur angsa yang telah membusuk.
Dulu aku seonggok sampah yang buruk rupa, aku hanyalah saripati dari sisa-sisa ekskresi makhluk yang benar-benar hidup, sungguh sesuatu yang menjijikkan. Sialnya lagi aku mengetahui bagaimana proses tubuhku tercipta. Tuanku menggunakan beberapa tetes cairan untuk memisahkan saripati hasil ekskresi yang akan membentukku dengan ampas yang tak akan berguna apa-apa. Lalu ia memasukkan cairan yang lebih banyak lagi pada bentukku yang belum sempurna, cairan itu kental! Seperti berton-ton kuah sup ayam yang sudah menua selama sebulan. Proses tubuhku tercipta terbilang cukup lama, hal ini membutuhkan dua kali purnama di tahun yang berbeda. Jadi, selama tubuhku belum sempurna terbentuk, aku bagaikan feses luwak milik seorang penanam kopi. Didiamkan menua untuk setelahnya digunakan.
Dalam posisi seperti itu mustahil bagiku tuk memiliki sebuah emosi, kurang lebih begitulah kata tuanku. Memang cukup benar, bagaimana bisa seonggok saripati feses sepertiku memliki sebuah emosi? Sungguh hal yang terlalu bodoh jika kumenanyakan hal tersebut pada tuanku.
Aku ingat, saat itu purnama pertama diawal tahun, dimana aku akhirnya bangkit dan memiliki tubuh sempurna seperti dirimu. Manusia. Namun aku bukanlah daging diluar tulang, aku hanya percobaan yang mampu menyerupai bentuk manusia, memiliki kepala, tangan, badan, serta kaki. Tanpa perasaan. Menyedihkan bukan?
Aku selalu bertanya pada tuanku, dapatkah aku memiliki perasaan? Namun tuanku selalu berkata jika tak ada yang boleh memberiku sebuah perasaan, menurutnya perasaan adalah sumber dari segala kehancuran dimuka bumi. Tuanku juga berkata bahwa perasaanlah yang menyebabkan banyaknya kemunduran sosial yang wajar dialami masyarakat. Perasaan telah merasuki asa-asa tiap manusia yang haus akan perhatian dan pengakuan. Mereka akan merengek seperti anak kecil ketika kebutuhan akan pengakuan itu muncul. Perhatian dari satu dua manusia disekitarnya tidaklah cukup, manusia menjadi terlalu serakah akibat perasaan. Tidakkah akal budi mereka sudah cukup untuk menjalani kehidupan yang jelas? Untuk memenuhi tuntutan realitas yang selalu berubah dan tiada berujung.
Tuanku memang sangat sensitif ketika aku mulai menanyakan perihal perasaan, pernah sekali aku ditamparnya berkali-kali karena aku bertanya tentang adakah kebaikan dari sebuah perasaan. Lalu ia melotot ke arahku dan berkata "Tidakkah kau jera!? Apakah rasa sakit dari tamparanku ini tak cukup untuk membungkammu dari pertanyaan bodoh itu? Mengapa kau tak mencoba menanyakan hal tersebut pada Tuhan? Itupun jika kau percaya, rupanya aku telah keliru membolehkanmu membaca semua buku di perpustakaan pribadiku! Apa kau mau kusamakan dengan percobaanku yang telah gagal?!". Kata-kata dari tuanku seakan menjadi tamparan yang begitu keras, bukan secara fisik, melainkan pada akal budi yang telah ia tanamkan pada tubuh hina ini.
Kadangkala, ketika aku melihat burung-burung beterbangan bebas dilangit yang segera mendung, aku-pun merasa ingin bebas seperti mereka. Terlepas dari tanggung jawab menjadi seonggok budak percobaan yang dinilai selalu gagal. Aku-pun ingin merasakan luka yang kerap kali didapat tuanku saat menggerutu dikala percobaannya gagal. Aku ingin luka dengan banyak darah! Bukan tubuh yang selalu mengelupas tiap kali terhempas angin.
Tunggu, bukankah ini sebuah perasaan? Ya! ini haruslah sebuah perasaan! Aku telah membaca buku karya Neville Goddard yang berjudul Feeling Is The Secret, dan telah aku mantapkan jika yang biasa kurasakan tentang kebebasan adalah sebuah perasaan juga! Tuan, kau tak bisa menipuku untuk kesekian kalinya!
Lantas malam hari setelah momen tersebut, kuberanikan tubuhku tuk melangkah ke arah tempat penjagalan dimana aku terlahir sebagai sosok yang menyerupai manusia. Kuambil sebilah kayu besar, alat pengganjal kepala korban-korban percobaan tuanku. Ditemani sang petang kulangkahkan kakiku menuju bilik peristirahatan tuanku. Kulihat begitu tua rupanya dan begitu putih rambut panjangnya, seakan berisyarat bahwa waktunya tak lagi sebanyak dulu. Hal ini membuatku berhasrat menolongnya untuk segera mencapai apa yang sebenarnya ia idamkan. Kebenaran sejati.
Kuhantamkan dengan keras sebilah kayu yang kupegang ke arah kepala renta tuanku, sembari kuucapkan selamat menempuh perjalanan mencari kebenaran.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sungguh aku tak bisa mengomentari apa-apa, antara bingung dan harus percaya, bahkan aku berpikir bahwa orang yang baru saja berbicara denganku sudah tak lagi waras. Ini adalah pengalaman pertamaku mendengar cerita gila dari seorang pria!
Setelah ia bercerita panjang lebar mengenai kehidupannya yang rumit, akupun bergegas untuk berpamitan padanya, karena matahari pun mulai menenggelamkan diri. Tapi disela-sela perpisahan kami hari ini, ia mengucapkan sesuatu yang tak akan pernah aku lupakan seumur hidupku, ia berkata "Tidakkah kau sudah sadar? Tidakkah kau telah bercermin pada diriku? Tidakkah kau telah memahami bahwa...... aku adalah dirimu sendiri, dirimu yang pernah menjadi seonggok feses yang hina."
Seketika aku teringat masa laluku yang sama sekali tidak pernah mengingat apapun tentang masa kanak-kanak.
TAMAT
6 Feb 2016
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar